Jumat, 06 April 2012

islamisasi


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam diyakini sebagai sebuah agama yang memperhatikan seluruh kebutuhan umat manusia. Termasuk di dalamnya dorongan untuk menuntut ilmu. Dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan,umat Islam pernah menhalami kejayaan pada masa kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Demikiannya juga kehadiran universitas Islam semisal Universitas al Azhar di Kairo didorong oleh semangat menuntut ilmu.
Namun setelah serangan Hulaghu Khan pada abad ke-13 Islam mengalami kemunduran. Beberapa saat setelah itu,dengan semangat kemodernan dan rasionalitas,Barat sebagai representasi kawasan Kristen mengalami kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ini menurut umat Islam ternyata tidak diimbangi dengan agama dan spiritualitas yang baik. Barat diduga telah meninggalkan etika kemanusiaan dalam memajukan ilmu pengetahuan. Tidak heran,ilmu pengetahuan pada akhirnya ditunggangi oleh kepentingan kolonialisme dan kapitalisme.
Pada sisi lain, umat Islam mulai menyadari ketertinggalannya dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam hal yang menyangkut kebutuhan praktis manusia. Untuk urusan ini, umat Islam dapat menerima Barat tetapi sesuatu yang tidak patut ditiru adalah keterlepasan ilmu Barat dengan nilai-nilai agama,terutama pasca “perang” supremasi ilmu dan geraja era modern (abad ke-17 M). Hal ini mendorong ilmuwan muslim untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis agama.
Gagasan Islamisasi ilmu di kalangan pemikir Muslim merupakan program epistemologi dalam rangka membangun (kembali) peradaban Islam.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Islamisasi ilmu dan sejarahnya.
Islamisasi adalah ”pembebasan manusia, mulai dari magic, mitos animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan, dan dari penguasaan sekuler atas akal dan bahasanya (Syed Muhammad Naquib Al Attas)” 1
Pengislaman Ilmu atau Islamisasi ilmu adalah wacana yang tak kunjung selesai diperdebatkan oleh sebagian pemikir Islam. Dalam bahasa Arab Islamisasi ilmu disebut sebagai “Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Islamization of Knowledge”. Dalam Islam, ilmu merupakan perkara yang amat penting malahan menuntut ilmu diwajibkan semenjak lahir hingga ke liang lahad. Ayat al-Quran yang pertama yang diturunkan berkaitan dengan ilmu yaitu surah al-’Alaq ayat 1-5. Menurut ajaran Islam, ilmu tidak bebas nilai-sebagaimana yang dikembangkan ilmuan Barat--akan tetapi sarat nilai, dalam Islam ilmu dipandang universal dan tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu dalam Islam.
Oleh kerana itu,sejarah dalam dunia ilmu Islam dahulu telah melahirkan ulama yang terkemuka yang dapat menguasai ilmu-ilmu “dunia” dan “akhirat”. Mereka berusaha menyeimbangkan ide-ide besar dalam tamadun yang lain dengan ajaran agama Islam. Ini dapat dilihat sebagai contoh seperti al-Kindi,Ibnu Sina,al-Ghazali,dan lain-lain. Mereka berusaha mengetengahkan beberapa ide dasar dan mempertemukan ilmu “luar“ dengan ajaran Islam. Perbedaannya,mereka tidak mengunakan istilah “pengislaman Ilmu” kala itu kerana pada saat itu umat Islam begitu cemerlang dalam ilmu pengetahuan.
Sesungguhnya usaha pengislaman ilmu ini telah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabat pada saat turunnya al-Quran dalam bahasa Arab. Al-Quran telah membawa bahasa Arab ke arah penggunaan yang lebih menenangkan dan damai sehingga merubah watak, perangai dan tingkah laku orang Arab ketika itu. Al-Quran juga merubah pandangan hidup mereka tentang alam semesta dan kehidupan dunia. Pengislaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama sehingga umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu. Oleh itu,islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru. Cuma dalam konteks “kerangka operasional” pengislaman ilmu-ilmu masa sekarang dicetuskan semula oleh tokoh-tokoh ilmuwan Islam seperti Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Al-Faruqi, Fazlur Rahman, Syed Hussein Nasr dan lain-lain.
Islamisasi ilmu ini menjadi perdebatan utama di kalangan para intelektual Islam semenjak tahun 1970 an. Walaupun ada sarjana muslim membicarakannya tetapi tidak secara teperinci dan mendalam mengenai konsep dan kerangka pengislaman ilmu. Umpamanya seperti,Syed Hussein Nasr, Fazlur Rahman, Jaafar Syeikh Idris.
Maka dapat dikatakan bahwa gagasan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai fenomena modernitas,menarik untuk dicermati. Pada era dimana peradaban modern-sekuler mencengkeram negeri-negeri Muslim dengan kukuhnya,pemunculan wacana Islamisasi ilmu pengetahuan dapat dibaca sebagai sebuah “kontra-hegemoni” ataupun “diskursus perlawanan”. Ia hadir untuk menunjukkan identitas sebuah peradaban yang sekian lama diabaikan. Tapi,sebuah “kontra-hegemoni” ataupun “diskursus perlawanan”, adakalanya memunculkan problema dan kontradiksinya sendiri. Itulah yang ingin coba ditelusuri dalam tulisan ini.  2
B.  Pendapat tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Dikalangan para ahli terdapat sikap pro dan kontra tentang islamisasi ilmu pengetahuan. Dr. Muhammad Arkoun seorang guru besar Islamic Studis pad Universitas Sorbon Prancis mangatakan bahwa keinginan dari para cendikiawan muslim untuk melakukan islamisasi ilmu dan teknologi adalah merupakan kesalahan, sebab hal ini dapat menjebak pada pendekatan yang menganggap bahwa islam hannya semata-mata sebagi ideologi. Senada dengan itu, di Indonesia juga terdapat yang kurang setuju dengan arkoun diatas islamisasi ilmu pengetahuan ilmu itu tidak perlu. Lebih lanjut ia mengatakan: hemat saya, Islamisasi ilmu,bukanlah kerja ilmiah,apalagi kerja kreatif. Sebab yang dibutuhkan ummat dan lebih-lebih lagi bagi para cendikiawannya adalah menguasai dan mengembangkan ilmu. Islamisasi ilmu hannyalah “kerja kreatif” karya orang saja. Sampai tingkat tertentu, tak ubahnya sebagai kerja tukang dipinggir jalan. Manakala orang atau seorang ilmuwan berhasil menciptakan atau mengembangkan ilmu,maka orang islam (sbagian,tentunya),akan mencoba “menangkap” dan berusaha mengislamkannya.

Sedangkan Usep Fathuddin memberi komentar lebih lanjut,bahwa semangat islamisasi itu didasari satu anggapan tentang keilmuan dan islam. Streotip yang paling serinng kita dengar ialah adannya dua kebenaran di dunia ini,kebenaran ilmu dan kebenaran agama, Ilmu dikatakan sebagai relatif, spekulatif, dan tak pasti,sementara agama dianggap absolut,trasendental dan pasti.
Sementara itu terdapat sejumlah kelompok ilmuwan yang mendukung gagasan islamisasi ilmu pengetahaun. Mulyanto misalnya mengatakan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan sering dipandang sebagai proses penerapan etika islam dalam pemanfaatan imu pengetahuan dan kreteria pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan di kembangkannya. Dengan kata lain, islam hanya berlaku sebagai kreteria etis diluar struktur ilmu pengetahuan, Asumsi dasarnya adalah, bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai. Konsekuensi logisnya mereka mereka menganggap mustahil munculnya ilmu pengetahuan islami, sebagaimana mustahilnya ilmu pengetahuan Marxisme. Dan islam beserta ideologi-ideologi lainnya, hannya mampu merasuki subjek ilmu pengetahuan beraksi; lalu menyerahkan kedaulatan muthlak pada metodologi ilmu bersangkutan. Lebih lanjut mulyanto mengatakan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan,tak lain dari proses pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan pada prinsip-prinsip yang hakiki, yakni: tauhid, kesatuan makna kebenaran, dan kesatuan ilmu pengetahuan.
Perbedaan diantara para ilmuwan yang berbeda pendapat itu hanya pada soal pendekatan. Kelompok yang menganggap tidak perlu melakukan islamisasi ilmu pengetahuan,terkesan ada sedikit rasa gengsi mengambil ilmu pengetahuan dari barat dan kemudian mengislamkannya. Bagi mereka bahwa umat islam perlu memiliki ilmu pengetahuan yang islam sebagaimana telah dicatat di zaman klasik. Namun, caranya bukan dengan mengambil ilmu dari barat yang dan mengislamkannya, melanikan langsung saja membentuk dan mengembangkan ilmu penngetahuan yang didasarkan pada corak dan sifat ajaran islam. Sementara itu bagi mereka yang setuju melakukan islamisasi ilmu pengetahuan,bukan berarti tidak setuju membentuk ilmu pengetahuan dengan corak islam secara mandiri,melainkan bersamaan dengan itu dipandang tidak ada salahnya apabila kita mengambil ilmu pengetahuan dari barat lalu mengislamkannya, sebagaimana halnya barat juga pernah mengambil ilmu pengetahuan dari islam dizaman klasik lalu mnyesuaikannya dengan ajaran barat. 

C. Pergulatan Islamisasi Ilmu
Islamisasi ilmu pengetahuan bergerak pada dua poros utama yaitu: teoritis dan praktis. Dari segi teoritis pembahasan menyangkut paradigma bebas nilai atau tidaknya ilmu pengetahuan. Dari segi praktis pembahasan menyangkut nilai kegunaan, tujuan sains modern yang rasional obyektif serta menyangkut nilai pemanfaatan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.
Ada yang mengatakan sains yang sekarang tidak islami seperti kata Sayyed Hossein Nasr, karena ilmu pengetahuan modern yang berkiblat ke Barat sudah lepas dari nilai teologisnya (agama). Cara kerja ilmu pengetahuan sudah mengabaikan prinsi-prinsip agama. Ada yang mengatakan bahwa sains itu netral seperti almarhum Abdussalam. Oleh karena itu yang perlu dilakukan bukanlah islamisasi sains, tetapi modernisasi ilmu-ilmu kalam, fiqh dan tasawwuf. Kemunduran peradaban Islam bersumber pada ketidak mampuan umat Islam menggali Qur’an secara ilmiah di satu pihak dan kegagalan mengakomodasi tuntutan-tuntutan zaman sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi.
Dengan demikian terdapat sebuah spektrum pandangan mengenai relasi sains modern dan Islam. Dari sains itu tak islami, lewat sains itu netral hingga sains itu sudah islami (terikat nilai).Sebagai proses, sains tak dapat dilepaskan dan konteks sosial dan kultural yang selalu berkembang sesuai dengan kemajuan sains sebagai produk dan teknologi sebagai aplikasi sains.
Dari segi prakteknya, sains terapan (teknologi) itu bagaikan pisau: di tangan pembunuh dia menjadi senjata yang mematikan, di tangan dokter bedah dia menjadi penyelamat manusia. Begitu juga teknologi, misalnya teknologi nuklir bisa digunakan untuk penghancur, namun dia bisa digunakan untuk sumber energi pengganti teknologi energi yang menggunakan bahan bakar fosil.
Ilmu dalam Islam bersifat spiritual. Di dorong oleh semangat semacam ini epistemologi Islam melahirkan rumus peran sosial ilmu dan hal-hal terlibat di dalamnya. Ilmu ditujukan untuk ibadah. Dalam hal ini al-Ghazalı merumuskan 3 kelompok ilmu yaitu 1) jenis-jenis ilmu terpuji dan tercela, 2) etika orang berilmu, dan 3) etika pengajar dan pelajar. Oleh karena itu di dalam Islam persoalan “relevansi sosial” lebih diunggulkan daripada “relevansi intelektual”, dan Islam tidak mengenal klaim “bebas nilai” dalam ilmu-pengetahuan.
Dari penjalasan di atas Islamisasi ilmu sangat perlu dilakukan, baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis. Tetapi dalam hal penamaan, tidak perlu mencantumkan Islamnya dalam satu frasa semisal, Sastra Islam, Sosiologi Islam, metalurgi Islam, kimia Islam dan sebagainya. Selain bid’ah secara syari’at, epistemologinya pun tidak mendesak sampai ke arah itu. Kecuali dalam ilmu-ilmu tertentu yang menunjukkan kekhasannya, seperti politik Islam dan ekonomi Islam. DR. Imaduddin Khalil bahkan mengusulkan agar disusun khusus sebuah Kode Etik Keilmuan Islam.
D.  Pendekatan dalam Islamisasi Ilmu
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sesungguhnya praktik islamisasi ilmu pengetahuan hanya salah satunya saja. Masyarakat menginginkan agar praktik islamisasi itu menjangkau seluruh kehidupan umat manusia. Yaitu praktik islamisasi dalam ilmuekonomi, politik, hukum dan seterusnya. Dengan demikian praktik islamisasi itu harus melibatkan seluruh pakar dalam berbagai disiplin keadilan.
Praktik islamisasi dalam berbagai bidang keahlian tersebut kini tengah berlangsung di masyarakat. Upaya ini dilakukan oleh umat Islam dengan menggunakan pendekatan yang terkadang berbeda salah satu dan lainnya sebagai berikut.
Pertama, ada yang menggunakan pendekatan formalistik, verbalistik, dan simbolistik. Yaitu pendekatan yang menginginkan agar agama secara resmi menjadi dasar negara,dinyatakan secara eksplisit dalam kata dan diaplikasikan dalam bentuk simbol yang menjadin logo setiap bidang kehidupan. Praktik islamisasi yang demikian itu dalam satu segi lebih memperlihatkan sosok yang tegas, lugas dan transparan dan sekaligus membedakan antara yang Islami dan yang bukan Islami. Namun,pendekatan yang demikian dapat berakibat timbulnya kecurigaan dan ketakutan bagi kelompok lain yang secara pluralistik berada di sekitarnya. Pendekatan yang demikian dapt efektif manakala kondisi sosial keaagamaan dan lainnya dalam keadaan kondusif seperti pada kasus yang di jumpai di propinsi Aceh Darussalam.
Kedua, ada yang menggunakan pendekatan kultural, substansual dan aktual. Dengan pendekatan ini,agama Islam diupayakan beradaptasi dan mengakomodasi dengan berbagai kebudayaan yang ada di masyarakat; Islam sebagai rahmat bagi kehidupan umat manusua dapat dirasakan dengan nyata. Islam benar-benar terlibat dalam memecahkan masalah kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi, kesehatan, pemukiman, pendidikan dan kesejahteraan pada umumnya. Islam benar-benar tampak dalam kenyataan sebagai sebuah sistem kuhidupan yang menyejukkan umat manusia. Pendekatan yang kedua ini tampak kurang sosoknya secara lahiriah sehingga terkadang sulit untuk melakukan klaim Islam terhadapnya. Namu secara batiniah dan substansif dapat dirasakan. Pendekatan yang kedua ini tampak lebih disukai kelompok lain yang secara empiris memperlihatkan keragaman kultural.

















BAB II
PENUTUP
Sebagaimana diungkapkan dalam pembuka tulisan ini, posisi gerakan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai sebuah “kontra-hegemoni” sekaligus “ideologi perlawanan” terhadap upaya dominasi peradaban Barat yang mencengkeram baik lewat kolonialisme, neo-kolonialisme maupun “invasi pemikiran”, jelas sangat penting. Lebih tegas, ia adalah sesuatu yang sah secara intelektual maupun politis. Bahkan merupakan hak dunia Islam, yang sayangnya, memang sebagian besar berada di dunia ketiga–sebagaimana bagi entitas kebudayaan dan peradaban lainnya–untuk mempertahankan identitas maupun jatidiri kebudayaan dan peradabannya dengan merujuk pada akar tradisinya sendiri.
Satu hal yang kiranya perlu tetap disadari, bahwa setiap hasil pemikiran manusia, selalu bersifat historis: terikat dengan ruang dan waktu yang melingkungi sang pemikir. Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, tentulah memiliki kebenaran-kebenaran tertentu sesuai dengan bingkai ruang dan waktunya. Itu merupakan sebuah upaya solusi terhadap berbagai problema keumatan yang memang nyata keberadaannya.
Menjadi penting bagi kita, pada satu sisi, mengapresiasi dan membuka ruang dialog bagi gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai suatu sumbangan sekelompok sarjana Muslim terhadap peradaban umat manusia. Dan pada sisi lain, menjaga agar gerakan tersebut berada pada bingkai kerja ilmiah, yang ukuran kebenarannya adalah sejauh mana ia bisa konsisten terhadap premis-premis dasar yang dibangunnya. Juga sejauh mana ia bisa mengatasi ujian dan verifikasi ilmiah dari para pengkritiknya. Dan tentu saja, seberapa jauh ia bisa memberi maslahat bagi umat manusia; setidaknya memecahkan persoalan-persoalan yang dijadikan isu utama. Sangat naif, jika kemudian terjadi penggeseran orientasi gerakan ini, dari yang sifatnya ilmiah menjadi politis dan ideologis. Sehingga gagasan tersebut menjadi gagasan yang tertutup karena dianggap sudah final kebenarannya atau bahkan diyakini tidak bisa salah karena “berasal dari Tuhan Yang Maha Benar”.


DAFTAR PUSTAKA
1.                  Faruqi, Ismail Raji. 1995. Islamisasi Pengetahuan. Terjemahan. Penerbit Pustaka. Bandung
2.                  Hashim, Rosnani. Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan dan Arah Tujuan. (Pustaka Bandung, Bandung, 2005)
3.                  Nata, Abudin, Metodologi Study Islam, (Jakarta: RajaGrafinda Persada, 2006), Sarjuni,    S.Ag,    M.Hum.  
4.      Rekontruksi    Ilmu    Pengetahuan,    alamat    web http://persis67benda.com/index.php? option=com_fireboard&Itemid=2&func=view&id=18&view=threaded&catid=  3, diakses pada 25 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar