BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam diyakini sebagai sebuah agama yang memperhatikan seluruh kebutuhan
umat manusia. Termasuk di dalamnya dorongan untuk menuntut ilmu. Dalam hal
pengembangan ilmu pengetahuan,umat Islam pernah menhalami kejayaan pada masa
kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Demikiannya juga kehadiran
universitas Islam semisal Universitas al Azhar di Kairo didorong oleh semangat
menuntut ilmu.
Namun setelah serangan Hulaghu Khan pada abad ke-13 Islam mengalami
kemunduran. Beberapa saat setelah itu,dengan semangat kemodernan dan
rasionalitas,Barat sebagai representasi kawasan Kristen mengalami kemajuan
pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ini menurut umat
Islam ternyata tidak diimbangi dengan agama dan spiritualitas yang baik. Barat
diduga telah meninggalkan etika kemanusiaan dalam memajukan ilmu pengetahuan.
Tidak heran,ilmu pengetahuan pada akhirnya ditunggangi oleh kepentingan
kolonialisme dan kapitalisme.
Pada sisi lain, umat Islam mulai menyadari ketertinggalannya dalam ilmu
pengetahuan, terutama dalam hal yang menyangkut kebutuhan praktis manusia.
Untuk urusan ini, umat Islam dapat menerima Barat tetapi sesuatu yang tidak
patut ditiru adalah keterlepasan ilmu Barat dengan nilai-nilai agama,terutama pasca
“perang” supremasi ilmu dan geraja era modern (abad ke-17 M). Hal ini mendorong
ilmuwan muslim untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis
agama.
Gagasan Islamisasi ilmu di kalangan pemikir Muslim merupakan program
epistemologi dalam rangka membangun (kembali) peradaban Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Islamisasi ilmu dan sejarahnya.
Islamisasi adalah ”pembebasan
manusia, mulai dari magic, mitos animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan,
dan dari penguasaan sekuler atas akal dan bahasanya (Syed Muhammad Naquib Al
Attas)” 1
Pengislaman Ilmu atau
Islamisasi ilmu adalah wacana yang tak kunjung selesai diperdebatkan oleh
sebagian pemikir Islam. Dalam bahasa Arab Islamisasi ilmu disebut sebagai
“Islamiyyat al-Ma’rifat” dan dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Islamization
of Knowledge”. Dalam Islam, ilmu merupakan perkara yang amat penting malahan
menuntut ilmu diwajibkan semenjak lahir hingga ke liang lahad. Ayat al-Quran
yang pertama yang diturunkan berkaitan dengan ilmu yaitu surah al-’Alaq ayat
1-5. Menurut ajaran Islam, ilmu tidak bebas nilai-sebagaimana yang dikembangkan
ilmuan Barat--akan tetapi sarat nilai, dalam Islam ilmu dipandang universal dan
tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu dalam Islam.
Oleh kerana itu,sejarah dalam
dunia ilmu Islam dahulu telah melahirkan ulama yang terkemuka yang dapat
menguasai ilmu-ilmu “dunia” dan “akhirat”. Mereka berusaha menyeimbangkan
ide-ide besar dalam tamadun yang lain dengan ajaran agama Islam. Ini dapat
dilihat sebagai contoh seperti al-Kindi,Ibnu Sina,al-Ghazali,dan lain-lain.
Mereka berusaha mengetengahkan beberapa ide dasar dan mempertemukan ilmu “luar“
dengan ajaran Islam. Perbedaannya,mereka tidak mengunakan istilah “pengislaman
Ilmu” kala itu kerana pada saat itu umat Islam begitu cemerlang dalam ilmu
pengetahuan.
Sesungguhnya usaha pengislaman
ilmu ini telah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabat pada saat
turunnya al-Quran dalam bahasa Arab. Al-Quran telah membawa bahasa Arab ke arah
penggunaan yang lebih menenangkan dan damai sehingga merubah watak, perangai
dan tingkah laku orang Arab ketika itu. Al-Quran juga merubah pandangan hidup
mereka tentang alam semesta dan kehidupan dunia. Pengislaman ilmu ini
diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama sehingga umat Islam
mencapai kegemilangan dalam ilmu. Oleh itu,islamisasi dalam arti kata yang
sebenarnya bukanlah perkara baru. Cuma dalam konteks “kerangka operasional”
pengislaman ilmu-ilmu masa sekarang dicetuskan semula oleh tokoh-tokoh ilmuwan
Islam seperti Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Al-Faruqi, Fazlur Rahman,
Syed Hussein Nasr dan lain-lain.
Islamisasi ilmu ini menjadi
perdebatan utama di kalangan para intelektual Islam semenjak tahun 1970 an.
Walaupun ada sarjana muslim membicarakannya tetapi tidak secara teperinci dan
mendalam mengenai konsep dan kerangka pengislaman ilmu. Umpamanya seperti,Syed
Hussein Nasr, Fazlur Rahman, Jaafar Syeikh Idris.
Maka dapat dikatakan bahwa
gagasan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai fenomena modernitas,menarik untuk
dicermati. Pada era dimana peradaban modern-sekuler mencengkeram negeri-negeri
Muslim dengan kukuhnya,pemunculan wacana Islamisasi ilmu pengetahuan dapat
dibaca sebagai sebuah “kontra-hegemoni” ataupun “diskursus perlawanan”. Ia
hadir untuk menunjukkan identitas sebuah peradaban yang sekian lama diabaikan.
Tapi,sebuah “kontra-hegemoni” ataupun “diskursus perlawanan”, adakalanya
memunculkan problema dan kontradiksinya sendiri. Itulah yang ingin coba
ditelusuri dalam tulisan ini. 2
B. Pendapat tentang Islamisasi Ilmu
Pengetahuan
Dikalangan para ahli terdapat
sikap pro dan kontra tentang islamisasi ilmu pengetahuan. Dr. Muhammad Arkoun
seorang guru besar Islamic Studis pad Universitas Sorbon Prancis mangatakan
bahwa keinginan dari para cendikiawan muslim untuk melakukan islamisasi ilmu
dan teknologi adalah merupakan kesalahan, sebab hal ini dapat menjebak pada
pendekatan yang menganggap bahwa islam hannya semata-mata sebagi ideologi.
Senada dengan itu, di Indonesia juga terdapat yang kurang setuju dengan arkoun
diatas islamisasi ilmu pengetahuan ilmu itu tidak perlu. Lebih lanjut ia
mengatakan: hemat saya, Islamisasi ilmu,bukanlah kerja ilmiah,apalagi kerja
kreatif. Sebab yang dibutuhkan ummat dan lebih-lebih lagi bagi para
cendikiawannya adalah menguasai dan mengembangkan ilmu. Islamisasi ilmu
hannyalah “kerja kreatif” karya orang saja. Sampai tingkat tertentu, tak
ubahnya sebagai kerja tukang dipinggir jalan. Manakala orang atau seorang
ilmuwan berhasil menciptakan atau mengembangkan ilmu,maka orang islam
(sbagian,tentunya),akan mencoba “menangkap” dan berusaha mengislamkannya.
Sedangkan Usep Fathuddin
memberi komentar lebih lanjut,bahwa semangat islamisasi itu didasari satu
anggapan tentang keilmuan dan islam. Streotip yang paling serinng kita dengar
ialah adannya dua kebenaran di dunia ini,kebenaran ilmu dan kebenaran agama,
Ilmu dikatakan sebagai relatif, spekulatif, dan tak pasti,sementara agama
dianggap absolut,trasendental dan pasti.
Sementara itu terdapat
sejumlah kelompok ilmuwan yang mendukung gagasan islamisasi ilmu pengetahaun.
Mulyanto misalnya mengatakan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan sering dipandang
sebagai proses penerapan etika islam dalam pemanfaatan imu pengetahuan dan
kreteria pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan di kembangkannya.
Dengan kata lain, islam hanya berlaku sebagai kreteria etis diluar struktur
ilmu pengetahuan, Asumsi dasarnya adalah, bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas
nilai. Konsekuensi logisnya mereka mereka menganggap mustahil munculnya ilmu
pengetahuan islami, sebagaimana mustahilnya ilmu pengetahuan Marxisme. Dan
islam beserta ideologi-ideologi lainnya, hannya mampu merasuki subjek ilmu
pengetahuan beraksi; lalu menyerahkan kedaulatan muthlak pada metodologi ilmu
bersangkutan. Lebih lanjut mulyanto mengatakan bahwa islamisasi ilmu
pengetahuan,tak lain dari proses pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan
pada prinsip-prinsip yang hakiki, yakni: tauhid, kesatuan makna kebenaran, dan
kesatuan ilmu pengetahuan.
Perbedaan diantara para
ilmuwan yang berbeda pendapat itu hanya pada soal pendekatan. Kelompok yang
menganggap tidak perlu melakukan islamisasi ilmu pengetahuan,terkesan ada
sedikit rasa gengsi mengambil ilmu pengetahuan dari barat dan kemudian mengislamkannya. Bagi mereka
bahwa umat islam perlu memiliki ilmu pengetahuan yang islam sebagaimana telah
dicatat di zaman klasik. Namun, caranya bukan dengan mengambil ilmu dari barat
yang dan mengislamkannya, melanikan langsung saja membentuk dan mengembangkan
ilmu penngetahuan yang didasarkan pada corak dan sifat ajaran islam. Sementara
itu bagi mereka yang setuju melakukan islamisasi ilmu pengetahuan,bukan berarti
tidak setuju membentuk ilmu pengetahuan dengan corak islam secara
mandiri,melainkan bersamaan dengan itu dipandang tidak ada salahnya apabila
kita mengambil ilmu pengetahuan dari barat lalu mengislamkannya, sebagaimana
halnya barat juga pernah mengambil ilmu pengetahuan dari islam dizaman klasik
lalu mnyesuaikannya dengan ajaran barat.
C. Pergulatan Islamisasi Ilmu
Islamisasi ilmu pengetahuan
bergerak pada dua poros utama yaitu: teoritis dan praktis. Dari segi teoritis
pembahasan menyangkut paradigma bebas nilai atau tidaknya ilmu pengetahuan.
Dari segi praktis pembahasan menyangkut nilai kegunaan, tujuan sains modern
yang rasional obyektif serta menyangkut nilai pemanfaatan bagi peningkatan
kesejahteraan manusia.
Ada yang mengatakan sains yang
sekarang tidak islami seperti kata Sayyed Hossein Nasr, karena ilmu pengetahuan
modern yang berkiblat ke Barat sudah lepas dari nilai teologisnya (agama). Cara
kerja ilmu pengetahuan sudah mengabaikan prinsi-prinsip agama. Ada yang
mengatakan bahwa sains itu netral seperti almarhum Abdussalam. Oleh karena itu
yang perlu dilakukan bukanlah islamisasi sains, tetapi modernisasi ilmu-ilmu
kalam, fiqh dan tasawwuf. Kemunduran peradaban Islam bersumber pada ketidak
mampuan umat Islam menggali Qur’an secara ilmiah di satu pihak dan kegagalan
mengakomodasi tuntutan-tuntutan zaman sesuai dengan kemajuan sains dan
teknologi.
Dengan demikian terdapat
sebuah spektrum pandangan mengenai relasi sains modern dan Islam. Dari sains
itu tak islami, lewat sains itu netral hingga sains itu sudah islami (terikat
nilai).Sebagai proses, sains tak dapat dilepaskan dan konteks sosial dan
kultural yang selalu berkembang sesuai dengan kemajuan sains sebagai produk dan
teknologi sebagai aplikasi sains.
Dari segi prakteknya, sains
terapan (teknologi) itu bagaikan pisau: di tangan pembunuh dia menjadi senjata
yang mematikan, di tangan dokter bedah dia menjadi penyelamat manusia. Begitu
juga teknologi, misalnya teknologi nuklir bisa digunakan untuk penghancur,
namun dia bisa digunakan untuk sumber energi pengganti teknologi energi yang
menggunakan bahan bakar fosil.
Ilmu dalam Islam bersifat
spiritual. Di dorong oleh semangat semacam ini epistemologi Islam melahirkan
rumus peran sosial ilmu dan hal-hal terlibat di dalamnya. Ilmu ditujukan untuk
ibadah. Dalam hal ini al-Ghazalı merumuskan 3 kelompok ilmu yaitu 1)
jenis-jenis ilmu terpuji dan tercela, 2) etika orang berilmu, dan 3) etika
pengajar dan pelajar. Oleh karena itu di dalam Islam persoalan “relevansi
sosial” lebih diunggulkan daripada “relevansi intelektual”, dan Islam tidak
mengenal klaim “bebas nilai” dalam ilmu-pengetahuan.
Dari penjalasan di atas
Islamisasi ilmu sangat perlu dilakukan, baik dari segi teoritis maupun dari
segi praktis. Tetapi dalam hal penamaan, tidak perlu mencantumkan Islamnya
dalam satu frasa semisal, Sastra Islam, Sosiologi Islam, metalurgi Islam, kimia
Islam dan sebagainya. Selain bid’ah secara syari’at, epistemologinya pun tidak
mendesak sampai ke arah itu. Kecuali dalam ilmu-ilmu tertentu yang menunjukkan
kekhasannya, seperti politik Islam dan ekonomi Islam. DR. Imaduddin Khalil
bahkan mengusulkan agar disusun khusus sebuah Kode Etik Keilmuan Islam.
D. Pendekatan dalam Islamisasi Ilmu
Berdasarkan uraian tersebut di
atas, sesungguhnya praktik islamisasi ilmu pengetahuan hanya salah satunya
saja. Masyarakat menginginkan agar praktik islamisasi itu menjangkau seluruh
kehidupan umat manusia. Yaitu praktik islamisasi dalam ilmuekonomi, politik, hukum dan
seterusnya. Dengan demikian praktik islamisasi itu harus melibatkan seluruh
pakar dalam berbagai disiplin keadilan.
Praktik islamisasi dalam
berbagai bidang keahlian tersebut kini tengah berlangsung di masyarakat. Upaya
ini dilakukan oleh umat Islam dengan menggunakan pendekatan yang terkadang
berbeda salah satu dan lainnya sebagai berikut.
Pertama, ada yang menggunakan
pendekatan formalistik, verbalistik, dan simbolistik. Yaitu pendekatan yang
menginginkan agar agama secara resmi menjadi dasar negara,dinyatakan secara
eksplisit dalam kata dan diaplikasikan dalam bentuk simbol yang menjadin logo
setiap bidang kehidupan. Praktik islamisasi yang demikian itu dalam satu segi
lebih memperlihatkan sosok yang tegas, lugas dan transparan dan sekaligus
membedakan antara yang Islami dan yang bukan Islami. Namun,pendekatan yang
demikian dapat berakibat timbulnya kecurigaan dan ketakutan bagi kelompok lain
yang secara pluralistik berada di sekitarnya. Pendekatan yang demikian dapt
efektif manakala kondisi sosial keaagamaan dan lainnya dalam keadaan kondusif
seperti pada kasus yang di jumpai di propinsi Aceh Darussalam.
Kedua, ada yang menggunakan
pendekatan kultural, substansual dan aktual. Dengan pendekatan ini,agama Islam
diupayakan beradaptasi dan mengakomodasi dengan berbagai kebudayaan yang ada di
masyarakat; Islam sebagai rahmat bagi kehidupan umat manusua dapat dirasakan
dengan nyata. Islam benar-benar terlibat dalam memecahkan masalah kehidupan
masyarakat dalam bidang ekonomi, kesehatan, pemukiman, pendidikan dan
kesejahteraan pada umumnya. Islam benar-benar tampak dalam kenyataan sebagai
sebuah sistem kuhidupan yang menyejukkan umat manusia. Pendekatan yang kedua
ini tampak kurang sosoknya secara lahiriah sehingga terkadang sulit untuk
melakukan klaim Islam terhadapnya. Namu secara batiniah dan substansif dapat
dirasakan. Pendekatan yang kedua ini tampak lebih disukai kelompok lain yang
secara empiris memperlihatkan keragaman kultural.
BAB II
PENUTUP
Sebagaimana diungkapkan dalam
pembuka tulisan ini, posisi gerakan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai sebuah
“kontra-hegemoni” sekaligus “ideologi perlawanan” terhadap upaya dominasi
peradaban Barat yang mencengkeram baik lewat kolonialisme, neo-kolonialisme
maupun “invasi pemikiran”, jelas sangat penting. Lebih tegas, ia adalah sesuatu
yang sah secara intelektual maupun politis. Bahkan merupakan hak dunia Islam, yang
sayangnya, memang sebagian besar berada di dunia ketiga–sebagaimana bagi
entitas kebudayaan dan peradaban lainnya–untuk mempertahankan identitas maupun
jatidiri kebudayaan dan peradabannya dengan merujuk pada akar tradisinya
sendiri.
Satu hal yang kiranya perlu
tetap disadari, bahwa setiap hasil pemikiran manusia, selalu bersifat historis:
terikat dengan ruang dan waktu yang melingkungi sang pemikir. Gagasan
islamisasi ilmu pengetahuan, tentulah memiliki kebenaran-kebenaran tertentu
sesuai dengan bingkai ruang dan waktunya. Itu merupakan sebuah upaya solusi
terhadap berbagai problema keumatan yang memang nyata keberadaannya.
Menjadi penting bagi kita,
pada satu sisi, mengapresiasi dan membuka ruang dialog bagi gagasan islamisasi
ilmu pengetahuan, sebagai suatu sumbangan sekelompok sarjana Muslim terhadap
peradaban umat manusia. Dan pada sisi lain, menjaga agar gerakan tersebut
berada pada bingkai kerja ilmiah, yang ukuran kebenarannya adalah sejauh mana
ia bisa konsisten terhadap premis-premis dasar yang dibangunnya. Juga sejauh
mana ia bisa mengatasi ujian dan verifikasi ilmiah dari para pengkritiknya. Dan
tentu saja, seberapa jauh ia bisa memberi maslahat bagi umat manusia;
setidaknya memecahkan persoalan-persoalan yang dijadikan isu utama. Sangat
naif, jika kemudian terjadi penggeseran orientasi gerakan ini, dari yang
sifatnya ilmiah menjadi politis dan ideologis. Sehingga gagasan tersebut
menjadi gagasan yang tertutup karena dianggap sudah final kebenarannya atau
bahkan diyakini tidak bisa salah karena “berasal dari Tuhan Yang Maha Benar”.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Faruqi,
Ismail Raji. 1995. Islamisasi Pengetahuan. Terjemahan. Penerbit Pustaka.
Bandung
2.
Hashim,
Rosnani. Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan
dan Arah Tujuan. (Pustaka Bandung, Bandung, 2005)
3.
Nata,
Abudin, Metodologi Study Islam, (Jakarta: RajaGrafinda Persada, 2006), Sarjuni, S.Ag,
M.Hum.
4. Rekontruksi Ilmu
Pengetahuan, alamat web http://persis67benda.com/index.php?
option=com_fireboard&Itemid=2&func=view&id=18&view=threaded&catid= 3, diakses pada 25 Maret 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar