BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Makalah ini berisi pembahasan tentang salah satu segid ari ajaran Islam
yang seharusnya mendapat perhatian dan pengkajian kembali. Sebagian aspek
keimanan mendapat perhatian dan pengkajian yang begitu intensif, sehingga muda
didapat dan diketengahkan pada masyarakat. Aspek yang akan dikaji dalam makalah
ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Dalam aspek ini belum tersingkap kebenaran
nilai yang dikandungnya, atau belum mendapat perhatian seperti perhatian
terhadap aspek lainnya. Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya
karena-Nya, serta mengabdikan diri dan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan
nilai keutamaan yang perlu diperhatikan dan harus diutamakan dalam
menyempurnakan cabang-cabang keimanan.
Sesungguhnya amalan lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak
akan mencapai kesempurnaan, kecuali jika di dasari dan diramu dengan nilai
keutamaan tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati
dan tertuang dalam setiap gerak serta perilaku keseharian.
Pendidikan modern telah menyerbu dari berbagai arah dan pengaruhnya telah
sedemikian merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak pandai membina jiwa dan
akal budi mereka,” maka mereka tidak akan selamat dari pengaruh negative
pendidikan modern. Mungkin mereka meresakan ada yang kurang dalam
spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari sumber-sumber lain. Bila ini
terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang
terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran
spiritualitas Islam.
Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar,
pandangan akal dan hatinya tajam, akal piker dan nuraninya berpadu dalam
berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka
mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat
kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun kemurnian
akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola piker teologis yang
menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi akidah, Islam hanya
menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai ajaran
akidah yang benar dan lurus.
Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tercermin dalam aturan
muamalat yang ditawarkan pada manusia dan dalam memberikan solusi serta terapi
bagi persoalan yang dihadapi yang senantiasa muncul dari waktu ke waktu. Selain
itu Islam adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian
hati yang dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari dorongan
hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendir. Agama seseorang tidak
sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan
pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat pentingnya
mata bagi orang yang sedang berjalan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Ketuhanan dalam Islam
1.
Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
a. Pemikiran
Barat
Yang dimaksud konsep ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep
yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun
batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam
literatur sejarah agama, dikenal teori Evolusionisme, yaitu teori yang
menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama-kelamaan
meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max
Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan
Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori Evolusionisme
adalah sebagai berikut :
Ø
Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitive telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh
tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia,
ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negate. Kekuatan
yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana
(Melanesia), tuah (Melayu), syakti (India), dan kami dalam bahasa Jepang.
Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan
pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun
mana itu tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.
Ø
Animisme
Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai
adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik,
mempunyai roh. Oleh masyarakat primitive, roh dipercayai sebagai sesuatu yang
aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai
sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta
mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang apabila kebutuhannya dipenuhi.
Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek negative dari roh-roh
tersebut, manusia harus berusaha memenuhi atau menyediakan kebutuhan roh.
Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah satu usaha untuk
memenuhi kebutuhan roh.
Ø
Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan kepercayaan animisme lama-lama tidak memberikan
kepuasan, karena terlalu banyaknya yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang
lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan
tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggungjawab terhadap
cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angina dan lain
sebagainya.
Semula antara satu dewa dengan dewa yang lain mempunyai kedudukan yang
sama atau sederajat. Lambat-laun dianggap hanya satu dewa yang mempunyai
kelebihan dari dewa yang lain, meskipun dewa-dewa yang ada di bawahnya tetap
mempunyai pengaruh. Pada agama Hindu misalnya, ada tiga dewa yang dianggap
tinggi yaitu : Brahmana, Syiwa, dan Wisnu. Kepercayaan terhadap tiga dewa
senior tersebut dikenal dengan istilah Trimurti (Tiga sembahan). Di samping
trimurti, dikenal pula konsep Tritunggal (trinitas). Pada agam Kristen yang
diartikan Tuhan ialah Allah Bapak, Yesus Kristus, dan Roh Kudus.
Ø
Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan.
Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak
mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia
meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu
dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Allah) dari
bangsa lain. Kepercayaan semacam ini yaitu satu Tuhan untuk satu bangsa disebut
dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).
Ø
Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam
monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional.
Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat ketuhanan terbagi dalam tiga paham
yaitu : deisme, panteisme, dan teisme.
a)
Deisme yaitu suatu paham yang berpendapat bahwa
Tuhan sebagai pencipta alam berada di luar alam. Tuhan menciptakan alam dengan sempurna
dank arena telah sempurna, maka alam bergerak menurut hokum alam. Antara alam
dengan Tuhan sebagai penciptanya tidak tidak lagi mempunyai kontak. Ajaran
Tuhan yang dikenal dengan wahyu tidak lagi diperlukan manusia. Dengan akal
manusia mampu menanggulangi kesulitan hidupnya.
b)
Panteisme berpendapat bahwa Tuhan sebagai
pencipta alam ada bersama alam. Di mana adal alam di situ ada Tuhan. Alam
sebagai ciptaan Tuhan merupakan bagian daripada-Nya. Tuhan ada di mana-mana,
bahkan setiap bagian dari alam adalah Tuhan.
c)
Teisme (eklektisme) berpendapat bahwa Tuhan Yang
Maha Esa sebagai pencipta alam berada di luar alam. Tuhan tidak bersama alam
dan Tuhan tidak ada di alam. Namun Tuhan selalu dekat dengan alam. Tuhan
mempunyai peranan terhadap alam sebagai ciptaan-Nya. Tuhan adalah pengatur
alam. Tak sedikit pun peredaran alam terlepas dari control-Nya. Alam tidak
bergerak menurut hokum alam, tetapi gerak alam diatur oleh Tuhan.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan
oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), kemudian ditentang oleh Andrew Lang
(1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia
mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya
dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada ujud yang Agung
dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan
kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan
evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di
Eropa Barat, mulai menantang Evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk
memahami sejarah agama. Meraka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang
secara evolusi, tetapi dengan relevasi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil
berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh
kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan itu didapatkan bukti-bukti
bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan
monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan.
Wilhelm Schmidt dalam mengungkapkan hasil penyelidikannya tidak
mendasarkan, atau terpengaruh oleh fasal-fasal dalam Bible. Ia menulis dari
segi Antropologi dan mendasarkan alasannya pada data yang dikumpulkan oleh
berpuluh-puluh peneliti dan sarjana yang meng-alami hidup bersama-sama dengan
masyarakat primitif. Penelitian itu dilakukan antara lain terhadap suku
Negritos dari kepulauan Philipina, pelbagai suku dari Micronesia dan Polynesia,
dan suku Papua dari Irian.
Berdasarkan penelitian terhadap pelbagai masyarakat primitive tersebut,
ia mengambil kesimpulan bahwa kepercayaan tentang Tuhan Yang Maha Agung dan Esa
adalah bentuk tertua, yang ada sebelum kepercayaan lain seperti dinamisme,
animisme, dan politeisme.
B. Pemikiran Umat Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau
Ilmu Ushuluddin di kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad
SAW. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada
pula yang bersifat di antara keduanya. Ketiga corak pemikiran ini telah
mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam.
Satu hal yang perlu diingat, bahwa masih-masing menggunakan akal pikiran
atau logika dalam mempertahankan pendapat mereka. Hal ini perlu ditekankan,
sebab satu hal pokok yang menyebabkan kemunduran umat Islam ialah kurangnya
penggunaan kemampuan akal pikirannya dalam mengkaji nilai-nilai yang menurut
pemikiran manusia atau nilai yang murni bersumber dari ajaran Islam yakni
al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Di antara aliran pemikiran tentang Tuhan adalah :
Ø
Aliran Mu’tazilah yang merupakan kum rasionalis
di kalangan muslim, serta menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami
semua ajarandan keimanan dalam Islam. Orang Islam yang berbuat dosa besar,
tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di antara posisi mukmin dan kafir
(manzilah bainal manzilatain).
Ø
Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai
bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan
keimanan. Hasil dari paham Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul abad
kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya
menurun dengan kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam ortodoks.
Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah
pecahan dari Khawariji.
Ø
Qadariah yang berpendapat bahwa manusia
mempunyai kebebasan dalam berkehendak atau berbuat. Manusia sendiri yang
menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan
manusia harus bertanggungjawab atas perbuatannya.
Ø
Berbeda dengan Qadariah, kelompok Jabariah yang
merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia
ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.
Ø
Kelompok yang tidak sependapat dengan Mu’tazilah
mendirikan kelompok sendiri, yakni kelompok Asy’ariyah dan Maturidiniayah yang
pendapatnya berada di antara Qadariah dan Jabariah.
Semua kelompok itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan
umat Islam periode masa lalu. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan sekarang ini, tiada lain bagi kita untuk mengadakan koreksi yang
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnag Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan
politik tertentu. Di antara aliran tersebut yang nampaknya lebih dapat
menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan meningkatkan etos kerja adalah
aliran Mu’tazilah dan Qadariah.
C. Pembuktian Adanya Tuhan
a. Metode
Pembuktian Ilmiah
Persoalan tantangan zaman modern terhadap agama terletak dalam masalah
metode pembuktian. Metode ini menganal hakekat melalui percobaan dan
pengamatan, sedang akidah agama berhubungan dengan alam di luar indera, yang
tidak mungkin dilakukan percobaan (agama didasarkan pada analogi dan induksi).
Hal inilah yang menyebabkan menurut metode ini agama batal, sebab agama tidak
mempunyai landasan ilmiah.
Sebenarnya problema zaman modern ini juga batal, sebab juga tidak
mempunyai landasa ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud sesuatu, walaupun
berlum diuji secara empiris. Di samping itu metode ini juga tidak menolak
analogi antara sesuatu yang tak terlihat dengan sesuatu yang telah diamati
secara empiris. Inilah yang disebut dengan “analogi ilmiah” dan dianggap sama
dengan percobaan empiris.
Suatu percobaan tidak dipandang sebagai kenyataan ilmiah hanya karena
percobaan itu dapat diamati secara langsung. Demikian pula suatu analogi tidak
dapat dianggap salah, hanya karena dia analogi. Kemungkinan benar dan salah
dari keduanya berada pada tingkat yang sama.
Kita mengetahui bahwa percobaan dan pengamatan bukanlah metode sains yang
pasti. Ilmu pengetahuan tidaklah terbatas pada persoalan yang dapat diamati
dengan hanya penelitian secara empiris saja. Teori yang disimpulkan dari
pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya jalan untuk mengobservasinya.
Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern hanyalah merupakan interpretasi
terhadap pangamatan dan pandangan tersebut belum dicoba secara empiris. Oleh
karena itu banyak sarjana percaya adanya hakekat yang tidak dapat diindera
secara langsung. Sarjana manapun tidak mampu melangkah lebih jauh tanpa
memegangi kata-kata seperti : “Gaya” (force), “energy”, “alam” (nature), dan
“hokum alam”. Padahal tidak ada seorang sarjana pun mengenal apa itu : “Gaya,
energi, alam dan hokum alam”. Sarjana tersebut tidak mampu memberikan
penjelasan terhadap kata-kata tersebut secara sempurna, sama seperti ahli
theology yang tidak mampu memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan. Keduanya
percaya sesuai dengan bidangnya pada sebab-sebab yang tidak diketahui.
Dalam hal ini
Prof. A.E. Mender berkata :
“Fakta yang dapat diketahui secara langsung disebut dengan “fakta yang
dapat diindera”, sedang fakta yang dikenal tidak terbatas pada fakta yang dapat
diindera saja. Banyak fakta lain yang tidak dapat diketahui secara langsung,
tetapi jelas telah dikenal. Adapun metode untuk mengetahui fakta ini adalah
dengan cara induksi. Bentuk fakta yang demikian disebut dengan “fakta yang
induktif”. Yang penting di sini ialah kita harus mengerti bahwa antara kedua
fakta tersebut tidak ada perbedaannya. Perbedaannya terletak pada penamaannya,
yang pertama diketahui secara langsung, sedangkan yang kedua lewat perantara.
Fakta tetaplah fakta, baik yang diketahui dengan pengamatan ataupun dengan
jalan induksi”.
Teori yang demikian kompleks misalnya hokum gravitasi yang sukar
dimengerti dan tidak ada cara untuk mengamatinya, dianggap sebagai kenyataan
ilmiah tanpa reserve, sebab teori tersebut dapat menjelaskan sebagian
pengamatan kita. Oleh karena itu tidak merupakan suatu keharusan bahwa suatu
yang dikenal secara langsung dan empiris sudah merupakan kenyataan. Dengan
demikian pernyataan yang mengatakan bahwa kepercayaan yang mengikat sejumlah
pengamatan dan menjelaskan kepada kita kandungannya secara umum, dengan cara
yang sama dapat pula dianggap sebagai kenyataan ilmiah.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama adalah “iman kepada yang ghaib”
dan ilmu pengetahuan adalah percaya kepada “pengamatan ilmiah”. Sebab, baik
agama maupun ilmu pengetahuan kedua-duanya berlandaskan pada keimanan kepada
yang ghaib. Hanya saja ruang lingkup agama yang sebenarnya adalah ruang lingkup
“penentuan hakekat” terakhir dan asli, sedangkan ruang lingkup ilmu pengetahuan
terbatas pada pembahasan cirri-ciri luar saja. Kalau ilmu pengetahuan memasuki
bidang penentuan hakekat, yang sebenarnya adalah bidang agama, berarti ilmu
pengetahuan telah menempuh jalan iman kepada yang ghaib. Oleh sebab itu harus
ditempuh bidang lain, seperti yang dikatakan oleh Sir Arthur Eddington :
“Dengan demikian kita akan mendapatkan bahwa tiap sesuatu mempunyai satu
gambar dengan dua sisi. Pertama sisi yang dapat diindera dan sisi kedua
berbentuk ide yang tidak mungkin diamati, walaupun dengan mempergunakan
mikroskop atau teleskop.
Sisi yang pertama adalah sisi yang dapat diamati oleh ilmu pengetahuan
dan dapat disaksikan dari jarak yang jauh sekali. Namun demikian ilmu
pengetahuan tidak dapat menyatakan bahwa dia telah melihat sisi yang kedua.
Metode ilmiah modern hanya dapat memberikan pendapat tentang suatu benda.,
setelah mengadakan pengamatan terhadap cirri-cirinya. Sedangkan ilmu
pengetahuan yang membahas “bidan kedua” yang berupa pengenalan dan penentuan
hakekat, adalah membahas sesuatu hakekat yang belum diketahui dengan
mempergunakan kenyataan yang dapat diindera.
Apa yang disebut fakta yang dapat diindera dalam dunia, sebetulnya bukan
fakta yang betul-betul telah diamati, tetapi merupakan penafsiran terhadap
sebagian pengamatan, sebab pengamatan manusia tidak mungkin bersifat sempurna.
Oleh karena itu semua penafsiran bersifat “tambahan” yang mungkin berubah
dengan berubahnya pengamatan.
Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis yang menafsirkan pengamatan
tidak kurang nilanya dari hakekat yang diamati. Mereka tidak dapat mengatakan :
Kenyataan yang diamati adalah satu-satunya “ilmu” dan semua hal yang berada di
luar kenyataan bukan ilmu, sebab tidak dapat diamati. Sebenarnya apa yang
disebut dengan iman kepada yang ghaib oleh orang Mukmin, adalah iman kepada
hakekat yang tidak dapat diamati. Hal ini tidak berarti satu kepercayaan buta,
tetapi justru merupakan interpretasi yang terbaik terhadap kenyataan yang tidak
dapat diamati oleh para sarjana.
Setelah membahas tentang kenyataan yang dapat diamati sampailah pada
suatu kesimpulan bahwa penafsiran agama terhadap alam merupakan kebenaran
mutlak yang tidak berubah sepanjang masa. Berbeda dengan teori yang dibuat
manusia sejak beberapa abad yang lalu, sedikit ataupun banyak ada yang ditolah,
bahkan menjadi sumber keraguan dewasa ini. Di samping itu setiap langkah yang
diambil dan setiap diadakan pengamatan justru semakin menjelaskan kebenaran
agama.
D. Keberadaan Alam Membuktikan Adanya Tuhan
Bukti yang paling jelas adanya Allah adalah ciptaan-Nya, serta hal itu
merupakan pengetahuan yang paling mantap. Bukti ini mendorong kita untuk beriman
bahwa tidak diragukan lagi alam ini mempunyai Tuhan. Kita tidak mampu memahami
diri kita dan memberikan penafsiran tentang kenyataan alam tanpa adanya iman
kepada Allah.
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan rahasia-rahasianya
yang pelik, tidak boleh tidak semuanya memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu
kekuatan yang telah menciptakannya, suatu “Akal” yang tidak ada batasnya.
Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa ala
mini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap
bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan. Jika
kita percaya tentang eksistensi alam, secara logika kita harus percaya tentang
adanya pencipta alam. Pernyataan yang mengatakan : “Percaya adanya makhluk,
tetapi menolak adanya Khaliq, “adalah suatu pernyataan yang tidak benar. Kita
belum pernah mengetahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa
diciptakan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
- Tuhan bisa berasal dari kata tuan, bisa juga dari kata “Tu” dan “Hyang” . Dalam bahasa arab berarti “ilahi” yuang berasal dari kata “aliha”.
- Sejarah pemikiran manusia pada akhirnya berkonsep monotheisme, yaitu satu tuhan, dan monotheisme yang murni hanyalah Islam.
- Konsep ketuhanan dalam Islam adalah Monotheisme murni, Seperti yang ada dalam, surat Al-ikhlas 1-5.
- Keberadaan Tuhan dapat di buktikan,baik secara filsafat maupun pembuktian ilmiah.
- Tuhan dalam agama lain cenderung polytheisme.
B.
Saran- saran
1. Kaum muslimin hendaknya memperdalam
aqidah mereka dengan tauhid yang benar.
2. Tak eharusnya Agama islam di campur
adukan engan budaya bersifat syirik.
3. Para Alim Ulama harus bia membimbing
dan menjaga aqidah umat.
DAFTAR PUSTAKA
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam,
Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004. Hal 19
Louis O Katsoff, Pengantar Filsafat,
Alih bahasa Soejono Soemargono, Tiara Warana, Yogyakarta, 2004. hal. 434
Hafiz Anshary, Sejarah Pemikiran Dalam
Islam, Jakarta, PT Pustaka Antara, 1996. Hal 50
Hafiz Anshary, Ibid, hal. 52
Lembaga WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran,
alih bahasa A. Naji Yulloh, Al-I’tishom, Jakarta, 2003, Hal 397
Tidak ada komentar:
Posting Komentar