BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bisa
menjumpai pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan
menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).
Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari
kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti
“keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan
(knowledge) yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini
mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang
sistematis yang berasal dari observasi,
kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau
prinsip apa yang dikaji. Sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari
kata alima yang artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu
berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ilmu memiliki ruang
lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada
bidang-bidang empirisme– positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan
nonempirisme seperti matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003).
Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat.
Tugas filsafat pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang
sesuatu sebagaimana adanya”. Will Duran dalam bukunya The story of Philosophy
mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan marinir yang merebut pantai untuk
pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang
di antaranya ilmu. Filsafat yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan
keilmuan. Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari
pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam
(natural philosophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy).
Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisika sebagai Philosophiae
Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu
Ekonomi menulis buku The Wealth Of Nation (1776) dalam fungsinya sebagai
Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.
Agus Comte dalam Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion and Science,
1963 membagi tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan yaitu: religius,
metafisic dan positif. Dalam tahap awal asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah
sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran religi. Tahap berikutnya orang
mulai berspekulasi tentang metafisika dan keberadaan wujud yang menjadi obyek
penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan
di atas dasar postulat metafisik. Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan
ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam
proses verifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah karakteristik sains yang
paling mendasar selain matematika.
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga
disebut epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc
yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini
pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang
filsafat yakni epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos =
teori ), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh
pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah
dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu
pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah
disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas
pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan
demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas
ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong pra-ilmiah.
Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar
diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk
yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi,
wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
Pengetahuan Manusia
Pengetahuan
|
Obyek
|
Paradigma
|
Metode
|
Kriteria
|
Sains
|
Empiris
|
Sains
|
Metode
Ilmiah
|
Rasional empiris
|
Filsafat
|
Abstrak
rasional
|
Rasional
|
Metode
rasional
|
Rasional
|
Mistis
|
Abstark
suprarasional
|
Mistis
|
Latihan
percaya
|
Rasa, iman, logis,
kadang empiris
|
Sumber: Tafsir,
Ahmad, 2006, Filsafat Ilmu
Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif,
sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak
bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran
(validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang prailmiah, walaupun
sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa
metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu.
Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiahkarena tidak diperoleh secara
sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan
“naluriah”.
Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut
tahap-mistik. Pada tahap ini, sikap manusia seperti dikepung oleh
kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam
kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas
batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan
seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai
pemimpin yang mengetahui segala-galanya. Fenomena tersebut sejalan dengan
tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi
kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang
pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai
kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan
sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala
masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya.
Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah
terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak
dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak
mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui status-status
ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan
tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek dengan
pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir
secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian
dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses
berpikir secara analisis dan sintesis.
Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu
menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini mengikuti teori koherensi,
yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang disebut
premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada
gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan
kesimpulan tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang
bersangkutan. Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran,
namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional–abstrak, maka
harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti
teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan
dukungan data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum dari
yang khusus.
Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap
fungsional. Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan
kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah
secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu
tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan
manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki
proses aspek aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta
profesionalisme terkait dengan kaidah moral.
Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan
pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut
pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang
apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita
sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai
eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman
inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat
diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan
ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib
seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan.
Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek
normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping
aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu
lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah pokok dan urutannya,
termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana
berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi,
yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral
pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.
B. Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi
Tahapan
|
Rumusan
Pertanyaan
|
Ontologi
(Hakikat
Ilmu)
|
|
Epistimologi
(Cara
Mendapatkan
Pengetahuan)
|
|
Aksiologi
(Guna
Pengetahuan)
|
|
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber-Sumber Pengetahuan
Ada 2 cara pokok mendapatkan pengetahuan dengan benar: pertama,
mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan pengalaman. Kaum
rasionalis mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman mengembangkan empirisme.
Kaum rasionalis mengembangkan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya.
Premis yang dipakai dari ide yang diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini
menurut mereka bukan ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh
sebelum manusia memikirkannya (idelisme). Sedang empirisme mengembangkan metode
berfikir induktif.
Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain yakni intuisi
atau wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses
penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu merupakan
pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.
Masalah yang muncul dalam sumber pengetahuan adalah, pertama, dikotomi
atau gap antara sumber ilmu umum dan ilmu agama. Bagi agama Islam sumber ilmu
yang paling otoritatif adalah Alquran dan Hadis. Bagi ilmu umum (imuwan
sekuler) satunya-satunya yang valid adalah pengalaman empiris yang didukung
oleh indrawi melalui metode induksi. Sedangkan metode deduksi yang ditempuh
oleh akal dan nalar sering dicurigai secara apriopri (yakni tidak melalui
pengalaman). Menurut mereka, setinggi-tingginya pencapaian akal adalah
filsafat. Filsafat masih dipandang terlalu spekulatif untuk bisa mengkonstruksi
bangunan ilmiah seperti yang diminta kaum positivis. Adapun pengalaman intuitif
sering dianggap hanya sebuah halusinasi atau ilusi belaka. Sedangkan menurut
agamawan pengalaman intuitif dianggap sebagai sumber ilmu, seperti para nabi
memperoleh wahyu ilahi atau mistikus memperoleh limpahan cahaya Ilahi.
Masalah kedua adalah pengamatan. Sains modern menentukan obyek ilmu yang
sah adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi (the observables) atau
diamati oleh indra. Akibatnya muncul penolakan dari filosof logika positivisme
yang menganggap segala pernyataan yang tidak ada hubungan obyek empirisnya
sebagai nonsens. Perbedaan ini melahirkan metafisik (dianggap gaib) dan fisik
(dianggap science).
Masalah ketiga adalah munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi
ilmu. Penekanan sains modern pada obyek empiris (ilmu-ilmu fisika) membuat
cabang ilmu nonfisik bergeser secara signifikan ke pinggiran. Akibatnya timbul
pandangan negatif bahwa bidang kajian agama hanya menghambat kemajuan. Seperti
dalam anggapan Freud yang menyatakan agama dan terutama pendukungnya yang
fanatik bertanggung jawab terhadap pemiskinan pengetahuan karena melarang anak
didik untuk bertanya secara kritis.
Masalah keempat yang muncul adalah menyangkut metodologi ilmiah. Sains
pada dasarnya hanya mengenal metode observasi atau eksperimen. Sedangkan
agamawan mengembangkan metode lainnya seperti metode intuitif. Masalah terakhir
adalah sulitnya mengintegrasikan ilmu dan agama terutama indra, intektual dan
intuisi sebagai pengalaman legitimate dan riil dari manusia.
B. Ilmu-Ilmu Alam
Ø
Pengertian
Ilmu alam (Inggris:natural science) atau ilmu pengetahuan alam adalah
istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu dimana obyeknya adalah
benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun
dimana pun.
Ilmu alam mempelajari aspek-aspek fisik & non-manusia tentang Bumi
dan alam sekitarnya. Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu terapan, yang
keduanya dibedakan dari ilmu sosial, humaniora, teologi, dan seni.
Matematika tidak dianggap sebagai ilmu alam, akan tetapi digunakan
sebagai penyedia alat/perangkat dan kerangka kerja yang digunakan dalam
ilmu-ilmu alam. Istilah ilmu alam juga digunakan untuk mengenali
"ilmu" sebagai disiplin yang mengikuti metode ilmiah, berbeda dengan
filsafat alam. Di sekolah, ilmu alam dipelajari secara umum di mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam(biasa disingkat IPA).
Tingkat kepastian ilmu alam relatif tinggi mengingat obyeknya yang
kongkrit, karena hal ini ilmu alam lazim juga disebut ilmu pasti.
Di samping penggunaan secara tradisional di atas, saat ini istilah
"ilmu alam" kadang digunakan mendekati arti yang lebih cocok dalam
pengertian sehari-hari. Dari sudut ini, "ilmu alam" dapat menjadi
arti alternatif bagi biologi, terlibat dalam proses-proses biologis, dan
dibedakan dari ilmu fisik (terkait dengan hukum-hukum fisika dan kimia yang
mendasari alam semesta).
Ø
Cara
Kerja Berfikir = Penalaran
Sebagaimana dikembangkan oleh Aristoteles, kerja-kerja penalaran
digambarkan sebagai berikut:
o
Deduksi
– penalaran yang wilayah konklusinya lebih sempit daripada premisnya –
mendasari ilmu-ilmu pasti; misalnya: semua manusia dapat mati, sokrates itu
manusia, maka socrates dapat mati;
o
Induksi – penalaran yang wilayah konklusinya
lebih luas daripada premisnya – mendasari ilmu-ilmu empiris; misalnya: manusia
1 mati, manuisa 2 mati, manusia 3 mati, maka semua manusia dapat mati; (terjadi
generalisasi di sini)
o
Metode
Ilmiah
•
Pengertian. Metodologi adalah ilmu-ilmu yang
digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara
tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung dari realitas yang sedang
dikaji.
•
Metode ilmiah menggunakan logika ilmiah,
merupakan gabungan antara kerja deduktif dengan kerja induktif, dengan
menekankan aspek koherensi sekaligus korespondensi;
•
Metode Ilmiah merupakan proses
logico-hypothetico-verifikasi dimana proses deduktif-induktif ini meliputi
tahapan-tahapan berikut: perumusan masalah; penjelasan argumentatif berdasar
presmis-premis dengan memperhatikan aspek koherensi; perumusan hipotesis
sebagai jawaban sementara (hasil kerja deduktif); pengujian hipotesis – melalui
eksperimen (pengumpulan fakta-fakta) dengan memperhatikan aspek korespondensi
melalui kerja-kerja induktif; Penarikan kesimpulan – kesesuaian kerja-kerja
deduksi dengan induksi. Jika sesuai berarti hipotesis diterima, jika tidak
sesuai maka hipotesis ditolak;
Cara
Berfikir Ilmu-ilmu Alam Silogisme hipotesis
Modus
ponendo ponen (deduksi): jika p berlaku, maka q terjadi; dan p berlaku
maka q terjadi;
Tanpa
nama (tidak sah): jika Pp berlaku, maka q terjadi; p berlaku maka ???
Induksi:
jika p berlaku maka q terjadi; jika q terjadi maka ???
Modus
tollendo tollens (falsifikasi): jika p berlaku, maka q terjadi; dan q
tak terjadi, maka p tak berlaku;
Proses
Perolehan Pengetahuan dalam Ilmu-ilmu Alam
1.
menemukan
anomali dari keajegan-keajegan;
2.
merumuskan
hipotesis;
3.
hipotesis
yang tak kalah-kalah melahirkan hukum alam;
4.
hukum-hukum
alam yang serumpun diabstraksi menjadi teori ilmiah;
Ciri
Pengetahuan yang diperoleh oleh Ilmu-ilmu Alam
1.
pengetahuan
itu netral atau bebas nilai; artinya pengetahuan itu tidak mengandung
unsur moral, norma, penilaian estetis, idiologi ataupun kepentingan politis;
2.
pengetahuan
itu objektif; artinya pengetahuan itu dapat disepkati oleh semua orang dari
latarbelakang yang berbeda-beda;
3.
pengetahuan
itu dapat dipakai untuk prognosis;
4.
pengetahuan
itu universal tidak bergantung ruang dan waktu, berlaku dimanapun dan kapanpun;
C. Sarana
Berpikir Ilmiah
•
Bahasa
•
Logika
•
Matematika
•
Statistika
Etos
Ilmiah
Dibalik karakteristik ilmu ada
etos yang dapat dikembangkan dalam interaksi sosial
1.
hubungan-hubungan
yang egaliter dan demokratis;
2.
kebebasan
individual yang besar untuk menemukan hal-hal baru;
3.
toleransi
terhadap berbagai latarbelakang;
4.
kepercayaan
akan adanya kebenaran objektif;
5.
keyakinan
bahwa konsensus tanpa paksaan itu mungkin;
Scientisme
1.
kepercayaan
bahwa ilmu-ilmu alam adalah proses belajar manusia yang paling bernilai karena
otoritatif, serius dan bermanfaat;
2.
kepercayaan
bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya proses belajar manusia yang
paling bermakna; maka adalah baik jika semua anggota keluarga mendasarkan
dirinya pada ilmu;
3.
scientisme
adalah idiologi sains yang menegasi kemungkinan adanya kebenaran-kebenaran lain
disamping kebenaran ilmiah. Etika ilmu menjadi etika sosial; padahal
etika ilmu itu terbatas;
Catatan: etos ilmiah
tidak harus jatuh ke arah scientisme – sebagai radikalisasi dari etos ilmiah;
D. Ilmu-Ilmu Sosial
Ø
Pengertian
Ilmu sosial (Inggris:social science) atau ilmu pengetahuan sosial adalah
sekelompok disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan
dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Ilmu ini berbeda dengan seni dan
humaniora karena menekankan penggunaan metode ilmiah dalam mempelajari manusia,
termasuk metoda kuantitatif dan kualitatif.
Ilmu sosial, dalam mempelajari aspek-aspek masyarakat secara subjektif,
inter-subjektif, dan objektif atau struktural, sebelumnya dianggap kurang
ilmiah bila dibanding dengan ilmu alam. Namun sekarang, beberapa bagian dari
ilmu sosial telah banyak menggunakan metoda kuantitatif. Demikian pula,
pendekatan interdisiplin dan lintas-disiplin dalam penelitian sosial terhadap
perilaku manusia serta faktor sosial dan lingkungan yang mempengaruhinya telah
membuat banyak peneliti ilmu alam tertarik pada beberapa aspek dalam metodologi
ilmu sosial. Penggunaan metoda kuantitatif dan kualitatif telah makin banyak
diintegrasikan dalam studi tentang tindakan manusia serta implikasi dan
konsekuensinya.
E. Ilmu-Ilmu
Humaniora
Ø
Pengertian
Humaniora merupakan studi yang memusatkan perhartiannya pada kehidupan
manusia, menekankan unsur kreativitas, kebaharuan, orisinalitas, keunikan.
Humaniora berusaha mencari makna dan nilai, sehingga bersifat normatif. Dalam
bidang humaniora rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai pemikiran tentang
suatu objek atas dasar dalil-dalil akal, tetapi juga hal-hal yang bersifat
imajinatif, sebagai contoh: Leonardo da Vinci mampu menggambar sebuah lukisan
yang mirip dengan bentuk helikopter jauh sebelum ditemukan pesawat terbang.
Humanities sebagai sekelompok ilmu pengetahuan mencakup: bahasa, baik
bahasa modern maupun klasik: linguistik: kesusastraan: sejarah, kritisisme,
teori dan praktek seni, dan semua aspek ilmu-ilmu sosial yang memiliki isi
humanistic dan menggunakan metode humanistic”.
J. Drost (2002: 2) dalam artikelnya di KOMPAS, Humaniora, mengatakan
bahwa bidang humaniora yang menjadikan manusia (humanus) lebih manusiawi
(humanior) itu, pada mulanya adalah trivium yang terdiri atas gramatika,
logika, dan retorika. Gramatika (tata bahasa) bermaksud membentuk manusia
terdidik yang menguasai sarana komunikasi secara baik. Logika bertujuan untuk
membentuk manusia terdidik agar dapat menyampaikan sesuatu sedemikian rupa
sehingga dapat dimengerti dan masuk akal. Retorika bertujuan untuk membentuk
manusia terdidik agar mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar, dan
mampu menyesuaikan diri dan uraian dengan perasaan dan kebutuhan itu.
Kemudian dari Trivium berkembang ke quadrivium yaitu: geeometri,
aritmatika, musik (teori akustik), dan astronomi. Drost menegaskan bahwa
seorang mahasiswa harus memiliki kematangan baik intelektual maupun emosional,
agar dapat menempuh studi akademis. Teras kematangan itu adalah kemampuan
bernalar dan bertutur yang telah terbentuk. Mahasiswa yang siap mulai studi di
perguruan tinggi adalah dia yang dapat mengendalikan nalar, yaitu dia yang
kritis. Seorang yang kritis adalah seorang yang, antara lain, mampu membedakan
macam-macam pengertian dan konsep, sanggup menilai kesimpulan-kesimpulan tanpa
terbawa perasaan.
Ignas Kleden (1987: 72) menyitir pendapat J.Habermas menunjukkan lima
ciri ilmu humaniora yang diletakkan dalam kategori hitoris-hermeneutis sebagai
berikut. Pertama, jalan untuk mendekati kenyataan melalui pemahaman arti.
Kedua, ujian terhadap salah benarnya pemahaman tersebut dilakukan melalui
interpretasi . Interpretasi yang benar akan meningkatkan intersubjektivitas,
sedang interpretasi yang salah akan mendatangkan sanksi (misal: senyum basabasi
yang diinterpretasikan jatuh cinta). Ketiga, pemahaman hermeneutis selalu
merupakan pemahaman berdasarkan pra-pengertian. Pemahaman situasi orang Rizal
Mustansyir, Refleksi Filosofis atas Ilmu-ilmu Humaniora.
Lain hanya mungkin tercapai melalui pemahaman atas situasi diri sendiri
terlebih dahulu. Pemahaman terjadi apabila tercipta komunikasi antara kedua
situasi tersebut. Keempat, komunikasi tersebut akan menjadi semakin intensif
apabila situasi yang hendak dipahami oleh pihak yang hendak memahaminya
diaplikasikan kepada dirinya sendiri. Kelima, kepentingan yang ada disini
adalah kepentingan untuk mempertahankan dan memperluas intersubjektivitas dalam
komunikasi yang dijamin dan diawasi oleh pengakuan umum tentang kewajiban yang
harus ditaati. Kesimpulannya ilmu humaniuora akan menghasilkan
interpretrasi-interpretasi yang memungkinkan adanya suatu orientasi bagi
tindakan manusia dalam kehidupan bersama.
F. Ilmu-Ilmu Alam Hubungannya Dengan Ilmu-Ilmu
Sosial & Humaniora, Sebuah Problem Epistemologis
o
Kegagalan
scientisme
o
etika
ilmu yang terbatas ini tidak dapat diterima dalam konteks yang luas tanpa
paksaan dan hegemoni sosial;
o
etika
ilmu itu objektif, impersonal dan universal; sedangkan etika sosial itu
intersubjektif, interpersonal dan lokal;
o
memilih
etika ilmu atau tidak bukanlah soal objektif atau subjektif, melainkan soal
putusan moral, maka tak ada objektivitas dalam aplikasi etika ilmu;
o
Kegagalan
eksperimen sejarah scientisme dalam nationalsosialisme Jerman dan
rezim-rezim komunis;
o
Paradigma
ilmu selalu berorientasi pada hal-hal yang empirical (asumsi –
postulat-hipotesis – eksperimen – teori); ini memunculkan konflik dengan
disiplin ilmu yang mendasarkan pada metafisika di dalam filsafat, misalnya atau
intuisi dalam psikologi; dan keyakinan dalam agama-agama ;
o
Epistem
Ilmu-Ilmu Alam Vs Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora
o
Kerja-kerja
ilmiah mendasarkan dirinya pada hal-hal yang empiris sedangkan lainnya tidak
demikian; ada yang mendasarkan diriya pada metafisik, intuisi,
keyakinan, estetika, etika, dll;
o
Metode
Ilmiah – dalam prosesnya - mengambil jarak dengan realitas objek; sedangkan
ilmu-ilmu sosial subjek-objek senantiasa mengalami persinggungan atau menjadi
bagian dari objek yang tak terpisahkan;
o
Pengetahuan
menjadi tidak bebas nilai; dapat dicurigai mengandung kepentingan, dominasi
kelompok tertentu atas yang lain; semisal studi orientalisme yang dilakukan
oleh Barat terhadap Islam, kenyataannya telah melahirkan cara pandang yang
diskriminatif, hingga ke menghina dan melecehkan Islam; atau kapitalisme telah
melahirkan gap sosial antara kelompok kaya dan kelompok miskin; dan lainnya;
(selanjutnya
lihat slide karya Anas Saidi)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Baik dari aspek ontologi, epistemologi maupun aksiologi antara ilmu-ilmu
alam, ilmu-ilmu sosial maupun humaniora merupakan wilayah yang berbeda;
sehingga apa yang disebut kerja ilmiah, baik menyoal paradigma, metodologi,
maupun nilai satu sama lain mengandung karakteristik dan model yang seharusnya
tidak sama. Keberbedaan ini tidaklah seharusnya mengundang stereotipe dan atau
peminggiran ilmu-ilmu sosial dan
humaniora dari ilmu-ilmu alam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir,
Filsafat Ilmu, Program Pasca Sarjana IAIN SGD Bandung, 1999
Bustanuddin
Agus, Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial: Studi Banding antara Pandangan Ilmiah dan
Ajaran Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1999.
Drost, J.,
“Humaniora”, dalam KOMPAS, Kamis, 10 Oktober, 2002, Jakarta.
Ignas-Kleden,
Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1987.
Koento Wibisono,
Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1983.
Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta 1999, hal. 33
Mulyadi
Kertanegara, Tradisi Ilmiah Islam, Serambi, 2005.
http://id.wikipedia.org/wiki/filsafat]
Qodri azizy, pengembangan ilmu-ilmu keislaman,
depag 2003
Vardiansyah,
Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008
Catatan Riview
Kursus History of Taought, USC Satunama Yogjakarta, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar