Jumat, 06 April 2012

Filsafat


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bisa menjumpai pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).
Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari  observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme– positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003).
Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”. Will Duran dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafat yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisika sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi menulis buku The Wealth Of Nation (1776) dalam fungsinya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.
Agus Comte dalam Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion and Science, 1963 membagi tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan yaitu: religius, metafisic dan positif. Dalam tahap awal asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran religi. Tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang metafisika dan keberadaan wujud yang menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik. Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah karakteristik sains yang paling mendasar selain matematika.
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori ), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong pra-ilmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
Pengetahuan Manusia
Pengetahuan
Obyek
Paradigma
Metode
Kriteria

Sains
Empiris
Sains
Metode
Ilmiah

Rasional empiris

Filsafat
Abstrak
rasional

Rasional
Metode
rasional

Rasional

Mistis
Abstark
suprarasional

Mistis
Latihan
percaya

Rasa, iman, logis,
kadang empiris

Sumber: Tafsir, Ahmad, 2006, Filsafat Ilmu
Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang prailmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiahkarena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”.
Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap-mistik. Pada tahap ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu  mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-galanya. Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya.
Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis dan sintesis.
Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional–abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan dukungan data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang khusus.
Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional. Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspek aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral.
Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan.
Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.
B.     Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi
Tahapan
Rumusan Pertanyaan
Ontologi
(Hakikat
Ilmu)

  • Obyek apa yang telah ditelaah ilmu?
  • Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
  • Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?

Epistimologi
(Cara
Mendapatkan
Pengetahuan)

  • Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
  • Bagaimana prosedurnya?
  • Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar?
  • Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?
  • Apa kriterianya?
  • Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Aksiologi
(Guna
Pengetahuan)

  • Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
  • Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
  • Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
  • Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sumber-Sumber Pengetahuan
Ada 2 cara pokok mendapatkan pengetahuan dengan benar: pertama, mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide yang diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia memikirkannya (idelisme). Sedang empirisme mengembangkan metode berfikir induktif.
Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain yakni intuisi atau wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.
Masalah yang muncul dalam sumber pengetahuan adalah, pertama, dikotomi atau gap antara sumber ilmu umum dan ilmu agama. Bagi agama Islam sumber ilmu yang paling otoritatif adalah Alquran dan Hadis. Bagi ilmu umum (imuwan sekuler) satunya-satunya yang valid adalah pengalaman empiris yang didukung oleh indrawi melalui metode induksi. Sedangkan metode deduksi yang ditempuh oleh akal dan nalar sering dicurigai secara apriopri (yakni tidak melalui pengalaman). Menurut mereka, setinggi-tingginya pencapaian akal adalah filsafat. Filsafat masih dipandang terlalu spekulatif untuk bisa mengkonstruksi bangunan ilmiah seperti yang diminta kaum positivis. Adapun pengalaman intuitif sering dianggap hanya sebuah halusinasi atau ilusi belaka. Sedangkan menurut agamawan pengalaman intuitif dianggap sebagai sumber ilmu, seperti para nabi memperoleh wahyu ilahi atau mistikus memperoleh limpahan cahaya Ilahi.
Masalah kedua adalah pengamatan. Sains modern menentukan obyek ilmu yang sah adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi (the observables) atau diamati oleh indra. Akibatnya muncul penolakan dari filosof logika positivisme yang menganggap segala pernyataan yang tidak ada hubungan obyek empirisnya sebagai nonsens. Perbedaan ini melahirkan metafisik (dianggap gaib) dan fisik (dianggap science).
Masalah ketiga adalah munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Penekanan sains modern pada obyek empiris (ilmu-ilmu fisika) membuat cabang ilmu nonfisik bergeser secara signifikan ke pinggiran. Akibatnya timbul pandangan negatif bahwa bidang kajian agama hanya menghambat kemajuan. Seperti dalam anggapan Freud yang menyatakan agama dan terutama pendukungnya yang fanatik bertanggung jawab terhadap pemiskinan pengetahuan karena melarang anak didik untuk bertanya secara kritis.
Masalah keempat yang muncul adalah menyangkut metodologi ilmiah. Sains pada dasarnya hanya mengenal metode observasi atau eksperimen. Sedangkan agamawan mengembangkan metode lainnya seperti metode intuitif. Masalah terakhir adalah sulitnya mengintegrasikan ilmu dan agama terutama indra, intektual dan intuisi sebagai pengalaman legitimate dan riil dari manusia.
B.     Ilmu-Ilmu Alam
Ø  Pengertian
Ilmu alam (Inggris:natural science) atau ilmu pengetahuan alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu dimana obyeknya adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun dimana pun.
Ilmu alam mempelajari aspek-aspek fisik & non-manusia tentang Bumi dan alam sekitarnya. Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu terapan, yang keduanya dibedakan dari ilmu sosial, humaniora, teologi, dan seni.
Matematika tidak dianggap sebagai ilmu alam, akan tetapi digunakan sebagai penyedia alat/perangkat dan kerangka kerja yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam. Istilah ilmu alam juga digunakan untuk mengenali "ilmu" sebagai disiplin yang mengikuti metode ilmiah, berbeda dengan filsafat alam. Di sekolah, ilmu alam dipelajari secara umum di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam(biasa disingkat IPA).
Tingkat kepastian ilmu alam relatif tinggi mengingat obyeknya yang kongkrit, karena hal ini ilmu alam lazim juga disebut ilmu pasti.
Di samping penggunaan secara tradisional di atas, saat ini istilah "ilmu alam" kadang digunakan mendekati arti yang lebih cocok dalam pengertian sehari-hari. Dari sudut ini, "ilmu alam" dapat menjadi arti alternatif bagi biologi, terlibat dalam proses-proses biologis, dan dibedakan dari ilmu fisik (terkait dengan hukum-hukum fisika dan kimia yang mendasari alam semesta).
Ø  Cara Kerja Berfikir = Penalaran
Sebagaimana dikembangkan oleh Aristoteles, kerja-kerja penalaran digambarkan sebagai berikut:
o   Deduksi – penalaran yang wilayah konklusinya lebih sempit daripada premisnya – mendasari ilmu-ilmu pasti; misalnya: semua manusia dapat mati, sokrates itu manusia, maka socrates dapat mati;
o   Induksi – penalaran yang wilayah konklusinya lebih luas daripada premisnya – mendasari ilmu-ilmu empiris; misalnya: manusia 1 mati, manuisa 2 mati, manusia 3 mati, maka semua manusia dapat mati; (terjadi generalisasi di sini)
o   Metode Ilmiah
                     Pengertian. Metodologi adalah ilmu-ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung dari realitas yang sedang dikaji.
                     Metode ilmiah menggunakan logika ilmiah, merupakan gabungan antara kerja deduktif dengan kerja induktif, dengan menekankan aspek koherensi sekaligus korespondensi;
                     Metode Ilmiah merupakan proses logico-hypothetico-verifikasi dimana proses deduktif-induktif ini meliputi tahapan-tahapan berikut: perumusan masalah; penjelasan argumentatif berdasar presmis-premis dengan memperhatikan aspek koherensi; perumusan hipotesis sebagai jawaban sementara (hasil kerja deduktif); pengujian hipotesis – melalui eksperimen (pengumpulan fakta-fakta) dengan memperhatikan aspek korespondensi melalui kerja-kerja induktif; Penarikan kesimpulan – kesesuaian kerja-kerja deduksi dengan induksi. Jika sesuai berarti hipotesis diterima, jika tidak sesuai maka hipotesis ditolak;
*      Cara Berfikir Ilmu-ilmu Alam Silogisme hipotesis
*      Modus ponendo ponen (deduksi): jika p berlaku, maka q terjadi; dan p berlaku maka q terjadi;
*      Tanpa nama (tidak sah): jika Pp berlaku, maka q terjadi; p berlaku maka ???
*      Induksi: jika p berlaku maka q terjadi; jika q terjadi maka ???
*      Modus tollendo tollens (falsifikasi): jika p berlaku, maka q terjadi; dan q tak terjadi, maka p tak berlaku;
*      Proses Perolehan Pengetahuan dalam Ilmu-ilmu Alam
1.      menemukan anomali dari keajegan-keajegan;
2.      merumuskan hipotesis;
3.      hipotesis yang tak kalah-kalah melahirkan hukum alam;
4.      hukum-hukum alam yang serumpun diabstraksi menjadi teori ilmiah;

*      Ciri Pengetahuan yang diperoleh oleh Ilmu-ilmu Alam
1.      pengetahuan itu netral atau bebas nilai; artinya pengetahuan itu tidak mengandung unsur moral, norma, penilaian estetis, idiologi ataupun kepentingan politis;
2.      pengetahuan itu objektif; artinya pengetahuan itu dapat disepkati oleh semua orang dari latarbelakang yang berbeda-beda;
3.      pengetahuan itu dapat dipakai untuk prognosis;
4.      pengetahuan itu universal tidak bergantung ruang dan waktu, berlaku dimanapun dan kapanpun;

C.    Sarana Berpikir Ilmiah
                     Bahasa
                     Logika
                     Matematika
                     Statistika
*      Etos Ilmiah
Dibalik karakteristik ilmu ada etos yang dapat dikembangkan dalam interaksi sosial
1.      hubungan-hubungan yang egaliter dan demokratis;
2.      kebebasan individual yang besar untuk menemukan hal-hal baru;
3.      toleransi terhadap berbagai latarbelakang;
4.      kepercayaan akan adanya kebenaran objektif;
5.      keyakinan bahwa konsensus tanpa paksaan itu mungkin;
*      Scientisme
1.      kepercayaan bahwa ilmu-ilmu alam adalah proses belajar manusia yang paling bernilai karena otoritatif, serius dan bermanfaat;
2.      kepercayaan bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya proses belajar manusia yang paling bermakna; maka adalah baik jika semua anggota keluarga mendasarkan dirinya pada ilmu;
3.      scientisme adalah idiologi sains yang menegasi kemungkinan adanya kebenaran-kebenaran lain disamping kebenaran ilmiah. Etika ilmu menjadi etika sosial; padahal etika ilmu itu terbatas;
Catatan: etos ilmiah tidak harus jatuh ke arah scientisme – sebagai radikalisasi dari etos ilmiah;
D.    Ilmu-Ilmu Sosial
Ø  Pengertian
Ilmu sosial (Inggris:social science) atau ilmu pengetahuan sosial adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Ilmu ini berbeda dengan seni dan humaniora karena menekankan penggunaan metode ilmiah dalam mempelajari manusia, termasuk metoda kuantitatif dan kualitatif.
Ilmu sosial, dalam mempelajari aspek-aspek masyarakat secara subjektif, inter-subjektif, dan objektif atau struktural, sebelumnya dianggap kurang ilmiah bila dibanding dengan ilmu alam. Namun sekarang, beberapa bagian dari ilmu sosial telah banyak menggunakan metoda kuantitatif. Demikian pula, pendekatan interdisiplin dan lintas-disiplin dalam penelitian sosial terhadap perilaku manusia serta faktor sosial dan lingkungan yang mempengaruhinya telah membuat banyak peneliti ilmu alam tertarik pada beberapa aspek dalam metodologi ilmu sosial. Penggunaan metoda kuantitatif dan kualitatif telah makin banyak diintegrasikan dalam studi tentang tindakan manusia serta implikasi dan konsekuensinya.
E.      Ilmu-Ilmu Humaniora
Ø  Pengertian
Humaniora merupakan studi yang memusatkan perhartiannya pada kehidupan manusia, menekankan unsur kreativitas, kebaharuan, orisinalitas, keunikan. Humaniora berusaha mencari makna dan nilai, sehingga bersifat normatif. Dalam bidang humaniora rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai pemikiran tentang suatu objek atas dasar dalil-dalil akal, tetapi juga hal-hal yang bersifat imajinatif, sebagai contoh: Leonardo da Vinci mampu menggambar sebuah lukisan yang mirip dengan bentuk helikopter jauh sebelum ditemukan pesawat terbang.
Humanities sebagai sekelompok ilmu pengetahuan mencakup: bahasa, baik bahasa modern maupun klasik: linguistik: kesusastraan: sejarah, kritisisme, teori dan praktek seni, dan semua aspek ilmu-ilmu sosial yang memiliki isi humanistic dan menggunakan metode humanistic”.
J. Drost (2002: 2) dalam artikelnya di KOMPAS, Humaniora, mengatakan bahwa bidang humaniora yang menjadikan manusia (humanus) lebih manusiawi (humanior) itu, pada mulanya adalah trivium yang terdiri atas gramatika, logika, dan retorika. Gramatika (tata bahasa) bermaksud membentuk manusia terdidik yang menguasai sarana komunikasi secara baik. Logika bertujuan untuk membentuk manusia terdidik agar dapat menyampaikan sesuatu sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti dan masuk akal. Retorika bertujuan untuk membentuk manusia terdidik agar mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar, dan mampu menyesuaikan diri dan uraian dengan perasaan dan kebutuhan itu.
Kemudian dari Trivium berkembang ke quadrivium yaitu: geeometri, aritmatika, musik (teori akustik), dan astronomi. Drost menegaskan bahwa seorang mahasiswa harus memiliki kematangan baik intelektual maupun emosional, agar dapat menempuh studi akademis. Teras kematangan itu adalah kemampuan bernalar dan bertutur yang telah terbentuk. Mahasiswa yang siap mulai studi di perguruan tinggi adalah dia yang dapat mengendalikan nalar, yaitu dia yang kritis. Seorang yang kritis adalah seorang yang, antara lain, mampu membedakan macam-macam pengertian dan konsep, sanggup menilai kesimpulan-kesimpulan tanpa terbawa perasaan.
Ignas Kleden (1987: 72) menyitir pendapat J.Habermas menunjukkan lima ciri ilmu humaniora yang diletakkan dalam kategori hitoris-hermeneutis sebagai berikut. Pertama, jalan untuk mendekati kenyataan melalui pemahaman arti. Kedua, ujian terhadap salah benarnya pemahaman tersebut dilakukan melalui interpretasi . Interpretasi yang benar akan meningkatkan intersubjektivitas, sedang interpretasi yang salah akan mendatangkan sanksi (misal: senyum basabasi yang diinterpretasikan jatuh cinta). Ketiga, pemahaman hermeneutis selalu merupakan pemahaman berdasarkan pra-pengertian. Pemahaman situasi orang Rizal Mustansyir, Refleksi Filosofis atas Ilmu-ilmu Humaniora.
Lain hanya mungkin tercapai melalui pemahaman atas situasi diri sendiri terlebih dahulu. Pemahaman terjadi apabila tercipta komunikasi antara kedua situasi tersebut. Keempat, komunikasi tersebut akan menjadi semakin intensif apabila situasi yang hendak dipahami oleh pihak yang hendak memahaminya diaplikasikan kepada dirinya sendiri. Kelima, kepentingan yang ada disini adalah kepentingan untuk mempertahankan dan memperluas intersubjektivitas dalam komunikasi yang dijamin dan diawasi oleh pengakuan umum tentang kewajiban yang harus ditaati. Kesimpulannya ilmu humaniuora akan menghasilkan interpretrasi-interpretasi yang memungkinkan adanya suatu orientasi bagi tindakan manusia dalam kehidupan bersama.
F.     Ilmu-Ilmu Alam Hubungannya Dengan Ilmu-Ilmu Sosial & Humaniora, Sebuah Problem Epistemologis
o   Kegagalan scientisme
o   etika ilmu yang terbatas ini tidak dapat diterima dalam konteks yang luas tanpa paksaan dan hegemoni sosial;
o   etika ilmu itu objektif, impersonal dan universal; sedangkan etika sosial itu intersubjektif, interpersonal dan lokal;
o   memilih etika ilmu atau tidak bukanlah soal objektif atau subjektif, melainkan soal putusan moral, maka tak ada objektivitas dalam aplikasi etika ilmu;
o   Kegagalan eksperimen sejarah scientisme dalam nationalsosialisme Jerman dan rezim-rezim komunis;
o   Paradigma ilmu selalu berorientasi pada hal-hal yang empirical (asumsi – postulat-hipotesis – eksperimen – teori); ini memunculkan konflik dengan disiplin ilmu yang mendasarkan pada metafisika di dalam filsafat, misalnya atau intuisi dalam psikologi; dan keyakinan dalam agama-agama ;
o   Epistem Ilmu-Ilmu Alam Vs Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora
o   Kerja-kerja ilmiah mendasarkan dirinya pada hal-hal yang empiris sedangkan lainnya tidak demikian; ada yang mendasarkan diriya pada metafisik, intuisi, keyakinan, estetika, etika, dll;
o   Metode Ilmiah – dalam prosesnya - mengambil jarak dengan realitas objek; sedangkan ilmu-ilmu sosial subjek-objek senantiasa mengalami persinggungan atau menjadi bagian dari objek yang tak terpisahkan;
o   Pengetahuan menjadi tidak bebas nilai; dapat dicurigai mengandung kepentingan, dominasi kelompok tertentu atas yang lain; semisal studi orientalisme yang dilakukan oleh Barat terhadap Islam, kenyataannya telah melahirkan cara pandang yang diskriminatif, hingga ke menghina dan melecehkan Islam; atau kapitalisme telah melahirkan gap sosial antara kelompok kaya dan kelompok miskin; dan lainnya;
(selanjutnya lihat slide karya Anas Saidi)










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Baik dari aspek ontologi, epistemologi maupun aksiologi antara ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial maupun humaniora merupakan wilayah yang berbeda; sehingga apa yang disebut kerja ilmiah, baik menyoal paradigma, metodologi, maupun nilai satu sama lain mengandung karakteristik dan model yang seharusnya tidak sama. Keberbedaan ini tidaklah seharusnya mengundang stereotipe dan atau peminggiran  ilmu-ilmu sosial dan humaniora dari ilmu-ilmu alam.














DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Program Pasca Sarjana IAIN SGD Bandung, 1999
Bustanuddin Agus, Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial: Studi Banding antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1999.
Drost, J., “Humaniora”, dalam KOMPAS, Kamis, 10 Oktober, 2002, Jakarta.
Ignas-Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1987.
Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1983.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1999, hal. 33
Mulyadi Kertanegara, Tradisi Ilmiah Islam, Serambi, 2005.
http://id.wikipedia.org/wiki/filsafat]
 Qodri azizy, pengembangan ilmu-ilmu keislaman, depag 2003
Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008
Catatan Riview Kursus History of Taought, USC Satunama Yogjakarta, 2003




Tidak ada komentar:

Posting Komentar