Jumat, 06 April 2012

Filsafat


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bisa menjumpai pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual (Bagir, 2005).
Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari  observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme– positiviesme sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003).
Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”. Will Duran dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafat yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisika sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi menulis buku The Wealth Of Nation (1776) dalam fungsinya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.
Agus Comte dalam Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion and Science, 1963 membagi tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan yaitu: religius, metafisic dan positif. Dalam tahap awal asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran religi. Tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang metafisika dan keberadaan wujud yang menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik. Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah karakteristik sains yang paling mendasar selain matematika.
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut epistimologi. Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa + logos = teori ), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah yang masih tergolong pra-ilmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
Pengetahuan Manusia
Pengetahuan
Obyek
Paradigma
Metode
Kriteria

Sains
Empiris
Sains
Metode
Ilmiah

Rasional empiris

Filsafat
Abstrak
rasional

Rasional
Metode
rasional

Rasional

Mistis
Abstark
suprarasional

Mistis
Latihan
percaya

Rasa, iman, logis,
kadang empiris

Sumber: Tafsir, Ahmad, 2006, Filsafat Ilmu
Dengan lain perkataan, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang prailmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiahkarena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”.
Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap-mistik. Pada tahap ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu  mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-galanya. Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya.
Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis, yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya. Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika pasti tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah obyek dengan pendekatan awal pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis dan sintesis.
Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini mengikuti teori koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan kesimpulan tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional–abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan dukungan data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang khusus.
Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap fungsional. Pada tahap fungsional, sikap manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana diketahui, ilmu tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspek aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral.
Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan.
Telaahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Telaahan ketiga ialah dari segi aksiologi, yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.
B.     Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi
Tahapan
Rumusan Pertanyaan
Ontologi
(Hakikat
Ilmu)

  • Obyek apa yang telah ditelaah ilmu?
  • Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
  • Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?

Epistimologi
(Cara
Mendapatkan
Pengetahuan)

  • Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu?
  • Bagaimana prosedurnya?
  • Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan dengan benar?
  • Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?
  • Apa kriterianya?
  • Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Aksiologi
(Guna
Pengetahuan)

  • Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
  • Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
  • Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
  • Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sumber-Sumber Pengetahuan
Ada 2 cara pokok mendapatkan pengetahuan dengan benar: pertama, mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide yang diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia memikirkannya (idelisme). Sedang empirisme mengembangkan metode berfikir induktif.
Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain yakni intuisi atau wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.
Masalah yang muncul dalam sumber pengetahuan adalah, pertama, dikotomi atau gap antara sumber ilmu umum dan ilmu agama. Bagi agama Islam sumber ilmu yang paling otoritatif adalah Alquran dan Hadis. Bagi ilmu umum (imuwan sekuler) satunya-satunya yang valid adalah pengalaman empiris yang didukung oleh indrawi melalui metode induksi. Sedangkan metode deduksi yang ditempuh oleh akal dan nalar sering dicurigai secara apriopri (yakni tidak melalui pengalaman). Menurut mereka, setinggi-tingginya pencapaian akal adalah filsafat. Filsafat masih dipandang terlalu spekulatif untuk bisa mengkonstruksi bangunan ilmiah seperti yang diminta kaum positivis. Adapun pengalaman intuitif sering dianggap hanya sebuah halusinasi atau ilusi belaka. Sedangkan menurut agamawan pengalaman intuitif dianggap sebagai sumber ilmu, seperti para nabi memperoleh wahyu ilahi atau mistikus memperoleh limpahan cahaya Ilahi.
Masalah kedua adalah pengamatan. Sains modern menentukan obyek ilmu yang sah adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi (the observables) atau diamati oleh indra. Akibatnya muncul penolakan dari filosof logika positivisme yang menganggap segala pernyataan yang tidak ada hubungan obyek empirisnya sebagai nonsens. Perbedaan ini melahirkan metafisik (dianggap gaib) dan fisik (dianggap science).
Masalah ketiga adalah munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Penekanan sains modern pada obyek empiris (ilmu-ilmu fisika) membuat cabang ilmu nonfisik bergeser secara signifikan ke pinggiran. Akibatnya timbul pandangan negatif bahwa bidang kajian agama hanya menghambat kemajuan. Seperti dalam anggapan Freud yang menyatakan agama dan terutama pendukungnya yang fanatik bertanggung jawab terhadap pemiskinan pengetahuan karena melarang anak didik untuk bertanya secara kritis.
Masalah keempat yang muncul adalah menyangkut metodologi ilmiah. Sains pada dasarnya hanya mengenal metode observasi atau eksperimen. Sedangkan agamawan mengembangkan metode lainnya seperti metode intuitif. Masalah terakhir adalah sulitnya mengintegrasikan ilmu dan agama terutama indra, intektual dan intuisi sebagai pengalaman legitimate dan riil dari manusia.
B.     Ilmu-Ilmu Alam
Ø  Pengertian
Ilmu alam (Inggris:natural science) atau ilmu pengetahuan alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu dimana obyeknya adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun dimana pun.
Ilmu alam mempelajari aspek-aspek fisik & non-manusia tentang Bumi dan alam sekitarnya. Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu terapan, yang keduanya dibedakan dari ilmu sosial, humaniora, teologi, dan seni.
Matematika tidak dianggap sebagai ilmu alam, akan tetapi digunakan sebagai penyedia alat/perangkat dan kerangka kerja yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam. Istilah ilmu alam juga digunakan untuk mengenali "ilmu" sebagai disiplin yang mengikuti metode ilmiah, berbeda dengan filsafat alam. Di sekolah, ilmu alam dipelajari secara umum di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam(biasa disingkat IPA).
Tingkat kepastian ilmu alam relatif tinggi mengingat obyeknya yang kongkrit, karena hal ini ilmu alam lazim juga disebut ilmu pasti.
Di samping penggunaan secara tradisional di atas, saat ini istilah "ilmu alam" kadang digunakan mendekati arti yang lebih cocok dalam pengertian sehari-hari. Dari sudut ini, "ilmu alam" dapat menjadi arti alternatif bagi biologi, terlibat dalam proses-proses biologis, dan dibedakan dari ilmu fisik (terkait dengan hukum-hukum fisika dan kimia yang mendasari alam semesta).
Ø  Cara Kerja Berfikir = Penalaran
Sebagaimana dikembangkan oleh Aristoteles, kerja-kerja penalaran digambarkan sebagai berikut:
o   Deduksi – penalaran yang wilayah konklusinya lebih sempit daripada premisnya – mendasari ilmu-ilmu pasti; misalnya: semua manusia dapat mati, sokrates itu manusia, maka socrates dapat mati;
o   Induksi – penalaran yang wilayah konklusinya lebih luas daripada premisnya – mendasari ilmu-ilmu empiris; misalnya: manusia 1 mati, manuisa 2 mati, manusia 3 mati, maka semua manusia dapat mati; (terjadi generalisasi di sini)
o   Metode Ilmiah
                     Pengertian. Metodologi adalah ilmu-ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung dari realitas yang sedang dikaji.
                     Metode ilmiah menggunakan logika ilmiah, merupakan gabungan antara kerja deduktif dengan kerja induktif, dengan menekankan aspek koherensi sekaligus korespondensi;
                     Metode Ilmiah merupakan proses logico-hypothetico-verifikasi dimana proses deduktif-induktif ini meliputi tahapan-tahapan berikut: perumusan masalah; penjelasan argumentatif berdasar presmis-premis dengan memperhatikan aspek koherensi; perumusan hipotesis sebagai jawaban sementara (hasil kerja deduktif); pengujian hipotesis – melalui eksperimen (pengumpulan fakta-fakta) dengan memperhatikan aspek korespondensi melalui kerja-kerja induktif; Penarikan kesimpulan – kesesuaian kerja-kerja deduksi dengan induksi. Jika sesuai berarti hipotesis diterima, jika tidak sesuai maka hipotesis ditolak;
*      Cara Berfikir Ilmu-ilmu Alam Silogisme hipotesis
*      Modus ponendo ponen (deduksi): jika p berlaku, maka q terjadi; dan p berlaku maka q terjadi;
*      Tanpa nama (tidak sah): jika Pp berlaku, maka q terjadi; p berlaku maka ???
*      Induksi: jika p berlaku maka q terjadi; jika q terjadi maka ???
*      Modus tollendo tollens (falsifikasi): jika p berlaku, maka q terjadi; dan q tak terjadi, maka p tak berlaku;
*      Proses Perolehan Pengetahuan dalam Ilmu-ilmu Alam
1.      menemukan anomali dari keajegan-keajegan;
2.      merumuskan hipotesis;
3.      hipotesis yang tak kalah-kalah melahirkan hukum alam;
4.      hukum-hukum alam yang serumpun diabstraksi menjadi teori ilmiah;

*      Ciri Pengetahuan yang diperoleh oleh Ilmu-ilmu Alam
1.      pengetahuan itu netral atau bebas nilai; artinya pengetahuan itu tidak mengandung unsur moral, norma, penilaian estetis, idiologi ataupun kepentingan politis;
2.      pengetahuan itu objektif; artinya pengetahuan itu dapat disepkati oleh semua orang dari latarbelakang yang berbeda-beda;
3.      pengetahuan itu dapat dipakai untuk prognosis;
4.      pengetahuan itu universal tidak bergantung ruang dan waktu, berlaku dimanapun dan kapanpun;

C.    Sarana Berpikir Ilmiah
                     Bahasa
                     Logika
                     Matematika
                     Statistika
*      Etos Ilmiah
Dibalik karakteristik ilmu ada etos yang dapat dikembangkan dalam interaksi sosial
1.      hubungan-hubungan yang egaliter dan demokratis;
2.      kebebasan individual yang besar untuk menemukan hal-hal baru;
3.      toleransi terhadap berbagai latarbelakang;
4.      kepercayaan akan adanya kebenaran objektif;
5.      keyakinan bahwa konsensus tanpa paksaan itu mungkin;
*      Scientisme
1.      kepercayaan bahwa ilmu-ilmu alam adalah proses belajar manusia yang paling bernilai karena otoritatif, serius dan bermanfaat;
2.      kepercayaan bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya proses belajar manusia yang paling bermakna; maka adalah baik jika semua anggota keluarga mendasarkan dirinya pada ilmu;
3.      scientisme adalah idiologi sains yang menegasi kemungkinan adanya kebenaran-kebenaran lain disamping kebenaran ilmiah. Etika ilmu menjadi etika sosial; padahal etika ilmu itu terbatas;
Catatan: etos ilmiah tidak harus jatuh ke arah scientisme – sebagai radikalisasi dari etos ilmiah;
D.    Ilmu-Ilmu Sosial
Ø  Pengertian
Ilmu sosial (Inggris:social science) atau ilmu pengetahuan sosial adalah sekelompok disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya. Ilmu ini berbeda dengan seni dan humaniora karena menekankan penggunaan metode ilmiah dalam mempelajari manusia, termasuk metoda kuantitatif dan kualitatif.
Ilmu sosial, dalam mempelajari aspek-aspek masyarakat secara subjektif, inter-subjektif, dan objektif atau struktural, sebelumnya dianggap kurang ilmiah bila dibanding dengan ilmu alam. Namun sekarang, beberapa bagian dari ilmu sosial telah banyak menggunakan metoda kuantitatif. Demikian pula, pendekatan interdisiplin dan lintas-disiplin dalam penelitian sosial terhadap perilaku manusia serta faktor sosial dan lingkungan yang mempengaruhinya telah membuat banyak peneliti ilmu alam tertarik pada beberapa aspek dalam metodologi ilmu sosial. Penggunaan metoda kuantitatif dan kualitatif telah makin banyak diintegrasikan dalam studi tentang tindakan manusia serta implikasi dan konsekuensinya.
E.      Ilmu-Ilmu Humaniora
Ø  Pengertian
Humaniora merupakan studi yang memusatkan perhartiannya pada kehidupan manusia, menekankan unsur kreativitas, kebaharuan, orisinalitas, keunikan. Humaniora berusaha mencari makna dan nilai, sehingga bersifat normatif. Dalam bidang humaniora rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai pemikiran tentang suatu objek atas dasar dalil-dalil akal, tetapi juga hal-hal yang bersifat imajinatif, sebagai contoh: Leonardo da Vinci mampu menggambar sebuah lukisan yang mirip dengan bentuk helikopter jauh sebelum ditemukan pesawat terbang.
Humanities sebagai sekelompok ilmu pengetahuan mencakup: bahasa, baik bahasa modern maupun klasik: linguistik: kesusastraan: sejarah, kritisisme, teori dan praktek seni, dan semua aspek ilmu-ilmu sosial yang memiliki isi humanistic dan menggunakan metode humanistic”.
J. Drost (2002: 2) dalam artikelnya di KOMPAS, Humaniora, mengatakan bahwa bidang humaniora yang menjadikan manusia (humanus) lebih manusiawi (humanior) itu, pada mulanya adalah trivium yang terdiri atas gramatika, logika, dan retorika. Gramatika (tata bahasa) bermaksud membentuk manusia terdidik yang menguasai sarana komunikasi secara baik. Logika bertujuan untuk membentuk manusia terdidik agar dapat menyampaikan sesuatu sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti dan masuk akal. Retorika bertujuan untuk membentuk manusia terdidik agar mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar, dan mampu menyesuaikan diri dan uraian dengan perasaan dan kebutuhan itu.
Kemudian dari Trivium berkembang ke quadrivium yaitu: geeometri, aritmatika, musik (teori akustik), dan astronomi. Drost menegaskan bahwa seorang mahasiswa harus memiliki kematangan baik intelektual maupun emosional, agar dapat menempuh studi akademis. Teras kematangan itu adalah kemampuan bernalar dan bertutur yang telah terbentuk. Mahasiswa yang siap mulai studi di perguruan tinggi adalah dia yang dapat mengendalikan nalar, yaitu dia yang kritis. Seorang yang kritis adalah seorang yang, antara lain, mampu membedakan macam-macam pengertian dan konsep, sanggup menilai kesimpulan-kesimpulan tanpa terbawa perasaan.
Ignas Kleden (1987: 72) menyitir pendapat J.Habermas menunjukkan lima ciri ilmu humaniora yang diletakkan dalam kategori hitoris-hermeneutis sebagai berikut. Pertama, jalan untuk mendekati kenyataan melalui pemahaman arti. Kedua, ujian terhadap salah benarnya pemahaman tersebut dilakukan melalui interpretasi . Interpretasi yang benar akan meningkatkan intersubjektivitas, sedang interpretasi yang salah akan mendatangkan sanksi (misal: senyum basabasi yang diinterpretasikan jatuh cinta). Ketiga, pemahaman hermeneutis selalu merupakan pemahaman berdasarkan pra-pengertian. Pemahaman situasi orang Rizal Mustansyir, Refleksi Filosofis atas Ilmu-ilmu Humaniora.
Lain hanya mungkin tercapai melalui pemahaman atas situasi diri sendiri terlebih dahulu. Pemahaman terjadi apabila tercipta komunikasi antara kedua situasi tersebut. Keempat, komunikasi tersebut akan menjadi semakin intensif apabila situasi yang hendak dipahami oleh pihak yang hendak memahaminya diaplikasikan kepada dirinya sendiri. Kelima, kepentingan yang ada disini adalah kepentingan untuk mempertahankan dan memperluas intersubjektivitas dalam komunikasi yang dijamin dan diawasi oleh pengakuan umum tentang kewajiban yang harus ditaati. Kesimpulannya ilmu humaniuora akan menghasilkan interpretrasi-interpretasi yang memungkinkan adanya suatu orientasi bagi tindakan manusia dalam kehidupan bersama.
F.     Ilmu-Ilmu Alam Hubungannya Dengan Ilmu-Ilmu Sosial & Humaniora, Sebuah Problem Epistemologis
o   Kegagalan scientisme
o   etika ilmu yang terbatas ini tidak dapat diterima dalam konteks yang luas tanpa paksaan dan hegemoni sosial;
o   etika ilmu itu objektif, impersonal dan universal; sedangkan etika sosial itu intersubjektif, interpersonal dan lokal;
o   memilih etika ilmu atau tidak bukanlah soal objektif atau subjektif, melainkan soal putusan moral, maka tak ada objektivitas dalam aplikasi etika ilmu;
o   Kegagalan eksperimen sejarah scientisme dalam nationalsosialisme Jerman dan rezim-rezim komunis;
o   Paradigma ilmu selalu berorientasi pada hal-hal yang empirical (asumsi – postulat-hipotesis – eksperimen – teori); ini memunculkan konflik dengan disiplin ilmu yang mendasarkan pada metafisika di dalam filsafat, misalnya atau intuisi dalam psikologi; dan keyakinan dalam agama-agama ;
o   Epistem Ilmu-Ilmu Alam Vs Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora
o   Kerja-kerja ilmiah mendasarkan dirinya pada hal-hal yang empiris sedangkan lainnya tidak demikian; ada yang mendasarkan diriya pada metafisik, intuisi, keyakinan, estetika, etika, dll;
o   Metode Ilmiah – dalam prosesnya - mengambil jarak dengan realitas objek; sedangkan ilmu-ilmu sosial subjek-objek senantiasa mengalami persinggungan atau menjadi bagian dari objek yang tak terpisahkan;
o   Pengetahuan menjadi tidak bebas nilai; dapat dicurigai mengandung kepentingan, dominasi kelompok tertentu atas yang lain; semisal studi orientalisme yang dilakukan oleh Barat terhadap Islam, kenyataannya telah melahirkan cara pandang yang diskriminatif, hingga ke menghina dan melecehkan Islam; atau kapitalisme telah melahirkan gap sosial antara kelompok kaya dan kelompok miskin; dan lainnya;
(selanjutnya lihat slide karya Anas Saidi)










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Baik dari aspek ontologi, epistemologi maupun aksiologi antara ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial maupun humaniora merupakan wilayah yang berbeda; sehingga apa yang disebut kerja ilmiah, baik menyoal paradigma, metodologi, maupun nilai satu sama lain mengandung karakteristik dan model yang seharusnya tidak sama. Keberbedaan ini tidaklah seharusnya mengundang stereotipe dan atau peminggiran  ilmu-ilmu sosial dan humaniora dari ilmu-ilmu alam.














DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, Program Pasca Sarjana IAIN SGD Bandung, 1999
Bustanuddin Agus, Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial: Studi Banding antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1999.
Drost, J., “Humaniora”, dalam KOMPAS, Kamis, 10 Oktober, 2002, Jakarta.
Ignas-Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1987.
Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1983.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1999, hal. 33
Mulyadi Kertanegara, Tradisi Ilmiah Islam, Serambi, 2005.
http://id.wikipedia.org/wiki/filsafat]
 Qodri azizy, pengembangan ilmu-ilmu keislaman, depag 2003
Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008
Catatan Riview Kursus History of Taought, USC Satunama Yogjakarta, 2003




zakat


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Ummat Islam adalah ummat yang mulia, ummat yang dipilih Allah untuk mengemban risalah, agar mereka menjadi saksi atas segala ummat. Tugas ummat Islam adlah mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, tentram dan sejahtera dimanapun mereka berada. Karena itu ummat Islam seharusnya menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Bahwa kenyataan ummat Islam kini jauh dari kondisi ideal, adalah akibat belum mampu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra'du : 11). Potensi-potensi dasar yang dianugerahkan Allah kepada ummat Islam belum dikembangkan secara optimal. Padahal ummat Islam memiliki banyak intelektual dan ulama, disamping potensi sumber daya manusia dan ekonomi yang melimpah. Jika seluruh potensi itu dikembangkan secara seksama, dirangkai dengan potensi aqidah Islamiyah (tauhid), tentu akan diperoleh hasil yang optimal. Pada saat yang sama, jika kemandirian, kesadaran beragama dan ukhuwah Islamiyah kaum muslimin juga makin meningkat maka pintu-pintu kemungkaran akibat kesulitan ekonomi akan makin dapat dipersempit.
Salah satu sisi ajaran Islam yang belum ditangani secara serius adalah penanggulangan kemiskinan dengan cara mengoptimalkan pengumpulan dan pendayagunaan zakat, infaq dan shadaqah dalam arti seluas-luasnya. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW serta penerusnya di zaman keemasan Islam. Padahal ummat Islam (Indonesia) sebenarnya memiliki potensi dana yang sangat besar.
Terdorong dari pemikiran inilah, penulis mencoba untuk menuliskan risalah zakat yang ringkas dan praktis agar dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Meskipun kami sadar bahwa rislah ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian kami berharap risalah ini dapat bermanfaat. Koreksi, kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan risalah zakat ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Macam-Macam Zakat Dan Pelaksanaannya
2.      Menjelaskan makan zakat, hukum zakat
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Makna Zakat
Menurut Bahasa(lughat), zakat berarti : tumbuh; berkembang; kesuburan atau bertambah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10)
Menurut Hukum Islam (istilah syara'), zakat adalah nama bagi suatu pengambilan tertentu dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu (Al Mawardi dalam kitab Al Hawiy)
Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah .
B.     Penyebutan Zakat dan Infaq dalam Al Qur-an dan As Sunnah
a.       Zakat (QS. Al Baqarah : 43)
b.      Shadaqah (QS. At Taubah : 104)
c.       Haq (QS. Al An'am : 141)
d.      Nafaqah (QS. At Taubah : 35)
e.       Al 'Afuw (QS. Al A'raf : 199)

C.    Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.


D.    Macam-macam Zakat
Ø  Zakat Nafs (jiwa), juga disebut zakat fitrah.
Ø  Zakat Maal (harta).
a. zakat maal
Pengertian Maal (harta) Menurut bahasa (lughat), harta adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali sekali oleh manusia untuk memiliki, memanfaatkan dan menyimpannya.Sedangkan Menurut syar'a, harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki (dikuasai) dan dapat digunakan (dimanfaatkan) menurut ghalibnya (lazim) .
Sesuatu dapat disebut dengan maal (harta) apabila memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu:
1.      Dapat dimiliki, disimpan, dihimpun, dikuasai
2.      Dapat diambil manfaatnya sesuai dengan ghalibnya. Misalnya rumah, mobil, ternak, hasil pertanian, uang, emas, perak, dll.
b. Syarat-syarat Kekayaan yang Wajib di Zakati
1. Milik Penuh (Almilkuttam)
Yaitu : harta tersebut berada dalam kontrol dan kekuasaanya secara penuh, dan dapat diambil manfaatnya secara penuh. Harta tersebut didapatkan melalui proses pemilikan yang dibenarkan menurut syariat islam, seperti : usaha, warisan, pemberian negara atau orang lain dan cara-cara yang sah. Sedangkan apabila harta tersebut diperoleh dengan cara yang haram, maka zakat atas harta tersebut tidaklah wajib, sebab harta tersebut harus dibebaskan dari tugasnya dengan cara dikembalikan kepada yang berhak atau ahli warisnya.
2. Berkembang
Yaitu : harta tersebut dapat bertambah atau berkembang bila diusahakan atau mempunyai potensi untuk berkembang.
3. Cukup Nishab
Artinya harta tersebut telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan syara'. sedangkan harta yang tidak sampai nishabnya terbebas dari Zakat
4. Lebih Dari Kebutuhan Pokok (Alhajatul Ashliyah)
Kebutuhan pokok adalah kebutuhan minimal yang diperlukan seseorang dan keluarga yang menjadi tanggungannya, untuk kelangsungan hidupnya. Artinya apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi yang bersangkutan tidak dapat hidup layak. Kebutuhan tersebut seperti kebutuhan primer atau kebutuhan hidup minimum (KHM), misal, belanja sehari-hari, pakaian, rumah, kesehatan, pendidikan, dsb.
5. Bebas Dari hutang
Orang yang mempunyai hutang sebesar atau mengurangi senishab yang harus dibayar pada waktu yang sama (dengan waktu mengeluarkan zakat), maka harta tersebut terbebas dari zakat.
6. Berlalu Satu Tahun (Al-Haul)
Maksudnya adalah bahwa pemilikan harta tersebut sudah belalu satu tahun. Persyaratan ini hanya berlaku bagi ternak, harta simpanan dan perniagaan. Sedang hasil pertanian, buah-buahan dan rikaz (barang temuan) tidak ada syarat haul.
c. Harta(maal) yang Wajib di Zakati
1. Binatang Ternak
Hewan ternak meliputi hewan besar (unta, sapi, kerbau), hewan kecil (kambing, domba) dan unggas (ayam, itik, burung).
2. Emas Dan Perak
Emas dan perak merupakan logam mulia yang selain merupakan tambang elok, juga sering dijadikan perhiasan. Emas dan perak juga dijadikan mata uang yang berlaku dari waktu ke waktu. Islam memandang emas dan perak sebagai harta yang (potensial) berkembang. Oleh karena syara' mewajibkan zakat atas keduanya, baik berupa uang, leburan logam, bejana, souvenir, ukiran atau yang lain.
Termasuk dalam kategori emas dan perak, adalah mata uang yang berlaku pada waktu itu di masing-masing negara. Oleh karena segala bentuk penyimpanan uang seperti tabungan, deposito, cek, saham atau surat berharga lainnya, termasuk kedalam kategori emas dan perak. sehingga penentuan nishab dan besarnya zakat disetarakan dengan emas dan perak.
Demikian juga pada harta kekayaan lainnya, seperti rumah, villa, kendaraan, tanah, dll. Yang melebihi keperluan menurut syara' atau dibeli/dibangun dengan tujuan menyimpan uang dan sewaktu-waktu dapat di uangkan. Pada emas dan perak atau lainnya yang berbentuk perhiasan, asal tidak berlebihan, maka tidak diwajibkan zakat atas barang-barang tersebut.
3. Harta Perniagaan
Harta perniagaan adalah semua yang diperuntukkan untuk diperjual-belikan dalam berbagai jenisnya, baik berupa barang seperti alat-alat, pakaian, makanan, perhiasan, dll. Perniagaan tersebut di usahakan secara perorangan atau perserikatan seperti CV, PT, Koperasi, dsb.
4. Hasil Pertanian
Hasil pertanian adalah hasil tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-mayur, buah-buahan, tanaman hias, rumput-rumputan,dedaunan, dll.
5. Ma-din dan Kekayaan Laut
Ma'din (hasil tambang) adalah benda-benda yang terdapat di dalam perut bumi dan memiliki nilai ekonomis seperti emas, perak, timah, tembaga, marmer, giok, minyak bumi, batu-bara, dll. Kekayaan laut adalah segala sesuatu yang dieksploitasi dari laut seperti mutiara, ambar, marjan, dll.
6. Rikaz
Rikaz adalah harta terpendam dari zaman dahulu atau biasa disebut dengan harta karun. Termasuk didalamnya harta yang ditemukan dan tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya .


E. Nisab dan Kadar Zakat
1. harta peternakan
a. Sapi, Kerbau dan Kuda
Nishab kerbau dan kuda disetarakan dengan nishab sapi yaitu 30 ekor. Artinya jika seseorang telah memiliki sapi (kerbau/kuda), maka ia telah terkena wajib zakat.Berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh At Tarmidzi dan Abu Dawud dari Muadz bin Jabbal RA, maka dapat dibuat tabel sbb :
Jumlah Ternak(ekor) Zakat
·         30-39 1 ekor sapi jantan/betina tabi' (a)
·         40-59 1 ekor sapi betina musinnah (b)
·         60-69 2 ekor sapi tabi'
·         70-79 1 ekor sapi musinnah dan 1 ekor tabi'
·         80-89 2 ekor sapi musinnah
Keterangan :
a.       Sapi berumur 1 tahun, masuk tahun ke-2
b.      Sapi berumur 2 tahun, masuk tahun ke-3
Selanjutnya setiap jumlah itu bertambah 30 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor tabi'. Dan jika setiap jumlah itu bertambah 40 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor musinnah.
b. Kambing/domba
Nishab kambing/domba adalah 40 ekor, artinya bila seseorang telah memiliki 40 ekor kambing/domba maka ia telah terkena wajib zakat.Berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Anas bin Malik, maka dapat dibuat tabel sbb :
Jumlah Ternak(ekor) Zakat
·         40-120 1 ekor kambing (2th) atau domba (1th)
·         121-200 2 ekor kambing/domba
·         201-300 3 ekor kambing/domba
Selanjutnya, setiap jumlah itu bertambah 100 ekor maka zakatnya bertambah 1 ekor.
c. Ternak Unggas (ayam,bebek,burung,dll) dan Perikanan
Nishab pada ternak unggas dan perikanan tidak diterapkan berdasarkan jumlah (ekor), sebagaimana halnya sapi, dan kambing. Tapi dihitung berdasarkan skala usaha.Nishab ternak unggas dan perikanan adalah setara dengan 20 Dinar (1 Dinar = 4,25 gram emas murni) atau sama dengan 85 gram emas. Artinya bila seorang beternak unggas atau perikanan, dan pada akhir tahun (tutup buku) ia memiliki kekayaan yang berupa modal kerja dan keuntungan lebih besar atau setara dengan 85 gram emas murni, maka ia terkena kewajiban zakat sebesar 2,5 %
Contoh :
Seorang peternak ayam broiler memelihara 1000 ekor ayam perminggu, pada akhir tahun (tutup buku) terdapat laporan keuangan sbb:
1.      Ayam broiler 5600 ekor seharga
2.      Uang Kas/Bank setelah pajak
3.      Stok pakan dan obat-obatan
4.      Piutang (dapat tertagih) Rp 15.000.000
Rp 10.000.000
Rp 2.000.000
Rp 4.000.000
Jumlah Rp 31.000.000
5. Utang yang jatuh tempo Rp 5.000.000
Saldo Rp26.000.000
Besar Zakat = 2,5 % x Rp.26.000.000,- = Rp 650.000
Catatan :
Kandang dan alat peternakan tidak diperhitungkan sebagai harta yang wajib dizakati. Nishab besarnya 85 gram emas murni, jika @ Rp 25.000,00 maka 85 x Rp 25.000,00 = Rp 2.125.000,00.
d. Unta
Nishab unta adalah 5 ekor, artinya bila seseorang telah memiliki 5 ekor unta maka ia terkena kewajiban zakat. Selanjtnya zakat itu bertambah, jika jumlah unta yang dimilikinya juga bertambah. Berdasarkan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas bin Malik, maka dapat dibuat tabel sbb:
Jumlah(ekor) Zakat
·         5-9 1 ekor kambing/domba (a)
·         10-14 2 ekor kambing/domba
·         15-19 3 ekor kambing/domba
·         20-24 4 ekor kambing/domba
·         25-35 1 ekor unta bintu Makhad (b)
·         36-45 1 ekor unta bintu Labun (c)
·         45-60 1 ekor unta Hiqah (d)
·         61-75 1 ekor unta Jadz'ah (e)
·         76-90 2 ekor unta bintu Labun (c)
·         91-120 2 ekor unta Hiqah (d)
Keterangan:
(a)    Kambing berumur 2 tahun atau lebih, atau domba berumur satu tahun atau lebih.
(b)   Unta betina umur 1 tahun, masuk tahun ke-2
(c)    Unta betina umur 2 tahun, masuk tahun ke-3
(d)   Unta betina umur 3 tahun, masuk tahun ke-4
(e)    Unta betina umur 4 tahun, masuk tahun ke-5
Selanjutnya, jika setiap jumlah itu bertambah 40 ekor maka zakatnya bertambah 1 ekor bintu Labun, dan setiap jumlah itu bertambah 50 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor Hiqah.
2. Emas dan Perak
Nishab emas adalah 20 dinar (85 gram emas murni) dan perak adalah 200 dirham (setara 672 gram perak). Artinya bila seseorang telah memiliki emas sebesar 20 dinar atau perak 200 dirham dan sudah setahun, maka ia telah terkena wajib zakat, yakni sebesar 2,5 %.
Demikian juga segala macam jenis harta yang merupakan harta simpanan dan dapat dikategorikan dalam "emas dan perak", seperti uang tunai, tabungan, cek, saham, surat berharga ataupun yang lainnya. Maka nishab dan zakatnya sama dengan ketentuan emas dan perak, artinya jika seseorang memiliki bermacam-macam bentuk harta dan jumlah akumulasinya lebih besar atau sama dengan nishab (85 gram emas) maka ia telah terkena wajib zakat (2,5 %).
Contoh :
Seseorang memiliki simpanan harta sebagai berikut :
Tabungan
·         Uang tunai (diluar kebutuhan pokok)
·         Perhiasan emas (berbagai bentuk)
·         Utang yang harus dibayar (jatuh tempo) Rp 5 juta
Rp 2 juta
100 gram
Rp 1.5 juta
Perhiasan emas atau yang lain tidak wajib dizakati kecuali selebihnya dari jumlah maksimal perhiasan yang layak dipakai. Jika layaknya seseorang memakai perhiasan maksimal 60 gram maka yang wajib dizakati hanyalah perhiasan yang selebihnya dari 60 gram.
Dengan demikian jumlah harta orang tersebut, sbb :
1.      Tabungan
2.      Uang tunai
3.      Perhiasan (10-60) gram @ Rp 25.000 Rp 5.000.000
Rp 2.000.000
Rp 1.000.000
Jumlah Rp 8.000.000
Utang Rp 1.500.000
Saldo Rp 6.500.000
Besar zakat = 2,5% x Rp 6.500.000 = Rp 163.500,-\
Catatan :
Perhitungan harta yang wajib dizakati dilakukan setiap tahun pada bulan yang sama.
3. Perniagaan
Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dll) nishabnya adalah 20 dinar (setara dengan 85gram emas murni). Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja danuntung) lebih besar atau setara dengan 85 gram emas (jika pergram Rp 25.000,- = Rp 2.125.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5 % Pada badan usaha yang berbentuk syirkah (kerjasama), maka jika semua anggota syirkah beragama islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum dibagikan kepada pihak-pihak yang bersyirkah. Tetapi jika anggota syirkah terdapat orang yang non muslim, maka zakat hanya dikeluarkan dari anggota syirkah muslim saja (apabila julahnya lebih dari nishab)
Cara menghitung zakat :
Kekayaan yang dimiliki badan usaha tidak akan lepas dari salah satu atau lebih dari tiga bentuk di bawah ini :
1.      Kekayaan dalam bentuk barang
2.      Uang tunai
3.      Piutang
Maka yang dimaksud dengan harta perniagaan yang wajib dizakati adalah yang harus dibayar (jatuh tempo) dan pajak.
Contoh :
Sebuah perusahaan meubel pada tutup buku per Januari tahun 1995 dengan keadaan sbb :
1.      Mebel belum terjual 5 set
2.      Uang tunai
3.      Piutang Rp 10.000.000
Rp 15.000.000
Rp 2.000.000
Jumlah Rp 27.000.000
Utang & Pajak Rp 7.000.000
Saldo Rp 20.000.000
Besar zakat = 2,5 % x Rp 20.000.000,- = Rp 500.000,-
Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari, etalase pada toko, dll, tidak termasuk harta yang wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak berkembang) Usaha yang bergerak dibidang jasa, seperti perhotelan, penyewaan apartemen, taksi, renal mobil, bus/truk, kapal laut, pesawat udara, dll, kemudian dikeluarkan zakatnya dapat dipilih diantara 2 (dua) cara:
a.       Pada perhitungan akhir tahun (tutup buku), seluruh harta kekayaan perusahaan dihitung, termasuk barang (harta) penghasil jasa, seperti hotel, taksi, kapal, dll, kemudian keluarkan zakatnya 2,5 %.
b.      Pada Perhitungan akhir tahun (tutup buku), hanya dihitung dari hasil bersih yang diperoleh usaha tersebut selama satu tahun, kemudian zakatnya dikeluarkan 10%. Hal ini diqiyaskan dengan perhitungan zakat hasil pertanian, dimana perhitungan zakatnya hanya didasarkan pada hasil pertaniannya, tidak dihitung harga tanahnya.
4. Hasil Pertanian
Nishab hasil pertanian adalah 5 wasq atau setara dengan 750 kg. Apabila hasil pertanian termasuk makanan pokok, seperti beras, jagung, gandum, kurma, dll, maka nishabnya adalah 750 kg dari hasil pertanian tersebut.
Tetapi jika hasil pertanian itu selain makanan pokok, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daun, bunga, dll, maka nishabnya disetarakan dengan harga nishab dari makanan pokok yang paling umum di daerah (negeri) tersebut (di negeri kita = beras).
Kadar zakat untuk hasil pertanian, apabila diairi dengan air hujan, atau sungai/mata/air, maka 10%, apabila diairi dengan cara disiram / irigasi (ada biaya tambahan) maka zakatnya 5%.Dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa pada tanaman yang disirami zakatnya 5%. Artinya 5% yang lainnya didistribusikan untuk biaya pengairan. Imam Az Zarqoni berpendapat bahwa apabila pengolahan lahan pertanian diairidengan air hujan (sungai) dan disirami (irigasi) dengan perbandingan 50;50, maka kadar zakatnya 7,5% (3/4 dari 1/10).Pada sistem pertanian saat ini, biaya tidak sekedar air, akan tetapi ada biaya lain seperti pupuk, insektisida, dll. Maka untuk mempermudah perhitungan zakatnya, biaya pupuk, intektisida dan sebagainya diambil dari hasil panen, kemudian sisanya (apabila lebih dari nishab) dikeluarkan zakatnya 10% atau 5% (tergantung sistem pengairannya).








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Zakat merupakan ibadah yang memiliki dimensi ganda, trasendental dan horizontal. Oleh sebab itu zakat memiliki banyak arti dalam kehidupan ummat manusia, terutama Islam. Zakat memiliki banyak hikmah, baik yng berkaitan dengan Sang Khaliq maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara manusia, antara lain :
1.      Menolong, membantu, membina dan membangun kaum dhuafa yang lemah papa dengan materi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.Dengan kondisi tersebut mereka akan mampu melaksanakan kewajibannya terhadap Allah SWT
2.      Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki dari diri orang-orang di sekitarnya berkehidupan cukup, apalagi mewah. Sedang ia sendiri tak memiliki apa-apa dan tidak ada uluran tangan dari mereka (orang kaya) kepadanya.
3.      Dapat mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, emurnikan jiwa (menumbuhkan akhlaq mulia menjadi murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan) dan mengikis sifat bakhil (kikir) serta serakah. Dengan begitu akhirnya suasana ketenangan bathin karena terbebas darituntutan Allah SWT dan kewajiban kemasyarakatan, akan selalu melingkupi hati.
4.      Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip: Ummatn Wahidan (umat yang satu), Musawah (persamaan derajat, dan dan kewajiban), Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan Takaful Ijti'ma (tanggung jawab bersama)
5.      Menjadi unsur penting dalam mewujudakan keseimbanagn dalam distribusi harta (sosial distribution), dan keseimbangan tanggungjawab individu dalam masyarakat
6.      Zakat adalah ibadah maaliyah yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah SWT dan juga merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusian dan keadilan, pembuktian persaudaraan Islam, pengikat persatuan ummat dan bangsa, sebagai pengikat bathin antara golongan kaya dengan yang miskin dan sebagai penimbun jurang yang menjadi pemisah antara golongan yang kuat dengan yang lemah
7.      Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera dimana hubungan seseorang dengan yang lainnya menjadi rukun, damai dan harmonis yang akhirnya dapat menciptakan situasi yang tentram, aman lahir bathin. Dalam masyarakat seperti itu takkan ada lagi kekhawatiran akan hidupnya kembali bahaya komunisme atheis) dan paham atau ajaran yang sesat dan menyesatkan. Sebab dengan dimensi dan fungsi ganda zakat, persoalan yang dihadapi kapitalisme dan sosialisme dengan sendirinya sudah terjawab. Akhirnya sesuai dengan janji Allah SWT, akan terciptalah sebuah masyarakat yang baldatun thoyibun wa Rabbun Ghafur













DAFTAR PUSTAKA
Drs. H.Amir Abyan,Ma Dkk. Fiqih. PT Karya Toha Semarang. 1997
Abdurrahman Al-Jaziri. Fiqih Empat mazhab.
http //: www. Masalah zakat.
Drs. Slamet Abidin dan Drs. H. Aminuddin. Fiqih. Cv Pustaka setia 1998