BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Hukum islam merupakan istilah khas di Indonesia,sebagai
terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau
dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah
al islamy.Istilah ini dalam wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law.Dalam Al-Qur’an dan
Sunnah,istilah al-hukm al-Islam tidak
ditemukan.Namun yang digunakan adalah kata syari’at islam,yang kemudian dalam
penjabarannya disebut istilah fiqih.Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum
dimaksud adalah hukum islam.Sebab,kajiannya dalam perspektif hukum islam,maka
yang dimaksudkan pula adalah hukum
syara’ yang bertalian dengan akidah dan akhlak.
Penyebutan
hukum islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam atau fiqh
islam.Apabila syari’at islam diterjemahkan sebagai hukum islam,maka berarti
syari’at islam yang dipahami dalam makna yang sempit.Pada dimensi lain
penyebutan hukum islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu
Negara,baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang
belum.Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy mendefinisikan hukum islam adalah koleksi
daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan
masyarakat.Dalam khazanah ilmu hukum islam di Indonesia,istilah hukum islam
dipahami sebagai penggabungan dua kata,hukum dan islam.Hukum adalah seperangkat
peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara
atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.Kemudian
kata hukum disandarkan kepada kata islam.Jadi,dapat dipahami bahwa hukum islam
adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul
tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang
diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama islam.
- Rumusan masalah
- Bagaimana pengertian tentang Sumber Hukum Islam?
- Bidang kajian apa sajakah yang erat kaitannya dengan Sumber Hukum Islam?
- Bagaimana pengertian tentang Ahkam al-Khamsah?
- Tujuan
- Untuk mengetahui tentang pengertian Sumber Hukum Islam
- Untuk mengetahui bidang kajian apa saja yang berkaitan dengan Sumber Hukum Islam
- Untuk mengetahui pengertian Ahkam al-Khamsah
BAB II
PEMBAHASAN
- Sumber Hukum Islam
Ø Pengertian Sumber Hukum Islam
Pengertian sumber hukum ialah segala
sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang
bersifat mengikat,yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan
sanksi yang tegas dan nyata.Sumber Hukum Islam ialah segala
sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu
Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar
pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum
islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian
yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab,
istislah, istihsun, maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.
Ø Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber atau dasar
hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at islam. Hal ini ditegaskan di dalam
Al-Qur’an yaitu
105. Sesungguhnya Kami telah
menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili
antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah
kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat[347],
Definisi
tentang Al-Qur’an telah banyak dirumuskan oleh beberapa ulama’,akan tetapi dari
beberapa definisi tersebut terdapat empat unsur pokok,yaitu :
1. Bahwa
Al-Qur’an itu berbentuk lafazt yang mengandung arti bahwa apa yang disampaikan
Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan dilafazkan
oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an.
2.
Bahwa
Al-Qur’an itu adalah berbahasa Arab
3.
Bahwa
Al-Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
4.
Bahwa
Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir
Ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan
beberapa cara dan keadaan,antara lain, yaitu :
1.
Malaikat
memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW
2.
Malaikat
menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang laki-laki yang
mengucapkan kata-katanya
3. Wahyu
datang seperti gemirincing lonceng
4. Malaikat
menampakkan diri kepada Nabi Muhammad SAW benar-benar sebagaimana rupanya yang
asli
Ayat-ayat yang diturunkan tadi
dibagi menjadi dua bagian/jenis,yaitu :
1. Ayat-ayat
Makkiyah
2. Ayat-ayat
Madaniyah
Di
dalam ajaran islam terdapat ketentuan-ketentuan untuk membentuk sesuatu
hukum,yaitu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Ushul Fiqih.Pengertian
bahasa arab “Ushul Fiqih” secara harfiah adalah akar pikiran,dan secara ibarat
(tamsil) adalah sumber hukum atau prinsip-prinsip tentang ilmu fiqih.Pada
umumnya para fuhaka sepakat menetapkan dan Qiyas.
Ø Sunnah Nabi/Hadist
Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang
suatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal,atau
disebut pula sunnah Qauliyyah.Hadist merupakan bagian dari sunnah
Rasulullah.Pengertian sunnah sangat luas,sebab sunnah mencakup dan meliputi:
- Semua ucapan Rasulullah SAW yang mencakup sunnah qauliyah
- Semua perbuatan Rasulullah SAW disebut sunnah fi’liyah
- Semua persetujuan Rasulullah SAW yang disebut sunnah taqririyah
Pada prinsipnya fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an
sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-Qur’an.Sebagai penganut hukum yang ada
dalam Al-Qur’an,sebagai penjelasan/penafsir/pemerinci hal-hal yang masih
global.Sunnah dapat juga membentuk hukum sendiri tentang suatu hal yang tidak disebutkan
dalam Al-Qur’an.Dalam sunnah terdapat unsur-unsur sanad (keseimbangan antar perawi),matan (isi materi) dan rowi
(periwayat).
Dilihat
dari segi jumlah perawinya sunnah dapat dibagi kedalam tiga kelompok yaitu :
- Sunnah Mutawattir : sunnah yang diriwayatkan banyak perawi
- Sunnah Masyur : sunnah yang diriwayatkan 2 orang atau lebih yang tidak mencapai tingkatan mutawattir
- Sunnah ahad : sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.
Pembagian
hadist dapat pula dilakukan melalui pembagian berdasarkan rawinya dan
berdasarkan sifat perawinya.
1.
Matan,
teks atau bunyi yang lengkap dari hadist itu dalam susunan kalimat yang
tertentu.
2.
Sanad,
bagian yangg menjadi dasar untuk menentukan dapat di percaya atau tidaknya
sesuatu hadist. Jadi tentang nama dan keadaan orang-orang yang sambung-bersambung
menerima dan menyampaikan hadist tersebut, dimulai dari orang yang
memberikannya sampai kepada sumbernya Nabi Muhammad SAW yang disebut rawi.
Ditinjau dari sudut periwayatnya ( rawi ) maka hadist
dapat di golongkan ke dalam empat tingakatan yaitu:
·
Hadist
mutawir, hadist yang diriwayatkan oleh kaum dari kaum yang lain hingga sampai
pada Nabi Muhammad SAW.
·
Hadist
masyur, hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang, kemudian tersebar luas.
Dari nabi hanya diberikan oleh seorang saja atau lebih.
·
Hadist
ahad, hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau lebih hingga sampai kepada
nabi muhammad.
·
Hadist
mursal, hadist yang rangkaian riwayatnya terputus di tengah-tengah,se hingga
tidak sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
Sunan
berkedudukan sebagai dalil hukum islam. Hal ini didasarkan kepada nash Al-quran
yaitu:
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari allah, dan
apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami
mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah allah menjadi
saksi.(QS.annisa’:79)
Surat Al-Arab ayat 158 sebagai berikut :
158.katakanlah : “ hai manusia sesungguhnya aku adalah
utusan allah kepadamu semua yaitu allah yang mempunyai kerjaan langit dan bumi,
tidak ada tuhan selain dia. Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah
kamu kepada allah dan rasulnya, nabi ysng ummi yang beriman kepada allah dan
kepada kalimat-kalimatnya (kitab-kitabnya) dan ikutilah dia, supaya kamu
mendapat petunjuk,” (QS. Al-a’rab : 158)
Di dalamnya memahami hadist terdapat dari kutub yang
harus diperhatikan, yaitu:
- Hadist shahih
- Hadist dhaif
Ciri-ciri hadist
yang shahih itu ialah yang kata- katanya bebas dari bahasa yang rendah (tidak
pantas) serta maksudnya tidak bertetangga dengan ayat atau kabar (hadis) yang
mutawir atau ijma’(yang gamblang), dan yang meriwayatkannya orang-orang yang
pantas dipercaya.
Adapun ciri-ciri hadist dhaif sebagaimana diungkapkan K.H.E
abdurrohman ialah bertentangan
dengan nash al-quran sunnah yang mutawir, atau bertentangan dengan putusan akal
yang gamblang.
Didalam
ilmu hadist dikenal adanya ulama hadist yang masykur. Keenam ulama tersebut,
ialah :
- Al-Bukhari (194 - 256 H/810 - 870 M)
- Muslim (204 - 261 H/817 - 875 M)
- Abu Daud (202 - 275 /817 - 889 M)
- An-Nasai (225 - 303 H/839 - 915 M)
- At-Turmudzi (209 - 272 / 824 - 892 M)
- Ibnu Majah 9207 - 273 / 824 - 887 M)
Ø Al-Ijma’
Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah
kesepakatan beberapa ahli istihan atau sejumlah mujtahid umat islam setelah
masa rasulullah tentang hukum atau ketentuan beberapa masa yang berkaitan
dengan syariat atau suatu hal. Ijma merupakan salah satu upaya istihad umat
islam setalah qiyas.
Kata ijma’ berasal dari kata jam’ artinya maenghimpun
atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu menyusun mengatur suatu hal
yang tak teratur,oleh sebab itu berarti menetapkan memutuskan suatu perkara,dan
berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha). Ijma berati kesepakatan pendapat di
antara mujtahid, atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqih dari abad
tertentu mengenai masalah hukum.
Apabila di kaji lebih mendalam dan mendasar terutama dari
segi cara melakukannya, maka terdapat dua macam ijma’ yaitu :
- Ijma’ shoreh (jelas atau nyata) adalah apabila ijtihad terdapat beberapa ahli ijtihad atau mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing secara tegas dan jelas.
- Ijma’ sukuti (diam atau tidak jelas) adalah apabila beberapa ahli ijtihad atau sejumlah mujtahid mengemukakan pendapatnya atau pemikirannya secara jelas.
Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hukum tentang
suatu hal, maka ijma’ dapat digolongkan menjadi :
- Ijma’ qathi yaitu apabila ijma’ tersebut memiliki kepastian hukum ( tentang suatu hal)
- Ijma’ dzanni yaitu ijma’ yang hanya menghasilkan suatu ketentuan hukum yang tidak pasti.
Pada hakikatnya ijma’ harus memiliki sandaran, danya
keharusan tersebut memiliki beberapa aturan yaitu :
Pertama:
bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandarannya, ijma’ tidak akan
sampai kepada kebenaran.
Kedua:
bahwa para sahabat keadaanya tidak akan lebih baik keadaan nabi, sebagaimana
diketahui, nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali berdasarkan
kepada wahyu.
Ketiga: bahwa
pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil baik kuat maupun lemah adalah
salah.kalau mereka sepakat berbuat begitu berati mereka sepakat berbuat suatu
kesalahan yang demikian tidak mungkin terjadi.
Keempat:
bahwa pendapat yang tidak didasarkan kepada dalil tidak dapat diketahui
kaitannya dengan hukum syara’ kalau tidak dapat dihubungkan kepada syara’ tidak
wajib diikuti
Ø Al-Ijtihad
Mencurahkan
seluruh potensi pikiran untuk mengambil suatu hukum dari dalil-dalil
syara’
( Al-quran dan
sunnah).Menurut definisi bahasa arab ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan di dalam mendapatkan hukum syara’
dengan cara istimbat dari Al-Quran dan hadist.Mujtahid adalah seseorang
yang melakukan ijtihad. Para mujtahid pada zaman sahabat hingga zaman tabi’in
mengambil hukum-hukum suatu masalah langsung dari Al-Quran dan hadist muhammad
SAW.
Mujtahid dapat dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi:
1.
Mujtahid
yang bekemampuan berijtihad seluruh amsalah hukum islam dan hasilnya diikuti
oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Mereka berusaha sendiri, tanpa
memungut pendapat orang lain.
2.
Mujtahid
filmadzhab atau mujtahid yang di dalam berijtihad mengikuti pendapat salah satu
madzhab dengan beberapa perbedaan. Misalnya abu yusuf yang mengikuti pendapat
madzhab manafi.
3.
Mujtahid
fil masail atau mujtahid yang hanya membidangi dalam masalah-masalah tertentu.
Ciri mujtahid kelas ini yaitu:
a.
Dalam
berijtihad mengikuti pendapat imam madzhab tertentu.
b.
Lapangan
ijtihadnya terbatas pada soal-soal tertentu dan menyangkut hal-hal yang cabang
saja.
4.
Mujtahid
yang mengikatnya diri muqoyyad ciri-ciri mujtahid yang termasuk dalam kelas
muqoyyad:
a.
Mengikuti
pendapat-pendapat ulama’ salaf
b.
Mengetahui
sumber-sumber hukum dan masalahnya
c.
Mampu
memilih pendapat yang di anggap lebih baik dan benar.
Ø Al-Qiyas
Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada
hukumnya dalam nash kepada kejadian yang lain yang hukumnya dalam nash karena
adanya kesamaan dua kejadian dalam illat hukumnya.Seterusnya dalam perkembangan
hukum islam kita jumpai qiyas sebagai sumber hukum yang keempat. Arti perkataan
bahasa arab “Qiyas” adalah menurut bahasa ukuran, timbangan. Persamaan
(analogy) dan menurut istilah ali ushul fiqih mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua peristiwa dengan
mempergunakan cara deduksi (analogical deduction). Yaitu menciptakan atau
menyalurkan atau menarik suatu garis hukum yang baru dari garis hukum yang lama
dengan maksud memakaiakan garis hukum yang baru itu kepada suatu keadaan,
karena garis hukum yang baru itu ada persamaanya dari garis hukum yang lama.Sebagai
contoh dapat dihadirkan dalam hal ini yaitu surat Al-Maidah ayat 90,yakni :
“ hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi,
(berkorban untuk berhala) mengundi nasb dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.”(QS.Al-Maidah : ayat 90)
Menurut ketentuan nash, khamar dilarang karena memabukkan
da dampak negatifnya akan menyebabkan rusaknya badan, pikiran dan pergaulan.
Dengan demikian sifat memabukkan
dimiliki sebagai sebab bagi ketentuan hukum haram. Hal ini dapat diqiyaskan
bahwa setiap minuman yang memabukkan haram hukumnya jadi dilarang di dalam
hukum islam.
Qiyas sebagai salah satu hukum islam yang tdak dapat
dikesampingkan keberadaannya di dalam menetapkan beberpa ketentuan hukum islam
memiliki 4 hukum yaitu:
1.
Sesuatu
yang hukumnya tidak terdapat dalam nash atau hukum islam.
2.
Sesuatu
yang hukumnya tidak terdapat dalam nash (far’u : cabang)
3.
Hukm
syara’ yang terdapat dalam nash berdasar unsur pokok.
4.
Illat,
yaitu sebab
Ø Al-istikhsan
Al-istikhsan adlah meninggalkan hukum yang diperoleh
melalui qiyas yang jelas (jali) untuk menjalankan hukum yang tidak jelas
(khafi) karena adanya dalil syara’ atau logika yang membenarkan atau meneruskan
meninggalkannya. Pada prinsipnya adalah meninggalkan hukum yang bersifat umum
untuk melaksanakan istisna oleh karena aa atau terdapat dalil tertentu.
Perbedaan pendapat tentang istihsan pada penggunaanya sebagai dalil sebenarnya
prbedaan dalam memberi arti kepada istihsan itu dari banyak istilah yang
dikemukakan tntang istihsan maka yang paling tepat dan sesuai dengan maksud
penolakan imam syafi’i menurut yang sering di nukilkan itu adalah “ sesuatu
cara yang cenderung dan senang perasaan manusia melakukannya sedangkan pihak
lain menganganggapnya baik” atau “ petunjuk atau dalil yang muncul pada diri
seseorang mujtahid sedangkan dia tidak mampu melahirkannya. “
Disamping itu ditegaskan pula bahwa imam syafi’i
berpendapat bila seseorang dibenarkan menggunakan istihsan ia akan berpendapat
orang lain pun bebas menggunakan istihsan, tentu akan dapat menimbulkan
beberapa putusan yang benar atau beberapa fatwa dalm kasus yang sama. Oleh
karena itu imam syafi’i menetapkan tidak boleh memutuskan berdasrkan istihsan.
Yang dibenarkan hanya menggunakan ijtihad dengan qiyas, bila dalam suatu
kejadian tidak ditemukan nash dalam bentuk al-quran maupun al-sunnah.
Dalam istihsan pada suatu peristiwa terdapat dalil untuk
dipilih. Untuk itu seorang mujtahid salh satu dalil yang jelas atau kuat untuk
menjalankan dalil yang tidak jelas disebabkan adanya sesuatu hal. Istihsan
berbeda dengan qiyas sebab dalamqiyas tentang sesuatu belum ada baik berupa
nash atau ijma’ karena adanya hukum, maka peristiwa atau hal dipersamakn dengan
peristiwa yang sudah ada hukumnya. Karena adanya persamaan illat sedangkan
dalam istihsan hukumnya sudah ada bahkan ada dua hukum yang harus dipilih.
Dalam istihsan ada dua aspek penting yaitu:
- Aspek yang ditinggalkan dan dalil yang dipakai
- Aspek dalil yang dijadikan landasan dasar istihsan.
Meninggalkan dalil yang umum dan menggunakan dalil yang
khusus karena adanya darurat.
Contoh : kasus seperti tersebut dalam (QS. Al-Maidah :
38) tentang pengecualian potong tangan bagi pencuri karena keadaan yang tidak
memungkinkan seerti dalam keadaan atau musim kelaparan. Hal ini pernah
diperatekkan umar bin khatab yang berati menyalahi dari kandungan surat
Al-Maidah ayat : 38 yaitu :
38.” Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri
potonglah tangan kedua saya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari allah. Dan allah maha perkasa lagi maha bijaksana (QS.
Al-Maidah : 38).
Ø Al-Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah atau lengkapnya “ al-masalihul mursalah
berarti kemaslahatan yang dilepaskan. Maslahah mursaah adalah kebaikan atau
kemaslahatan yang tidak disinggung-singgung syara’ mengenai hukumnya, baik di
dalam mengerjakan atau meninggalkannya akan tetapi dikerjakannya, akan tetapi
dikerjakan akan membawa manfaat dan menjauhkan kemudhoratannya, bahkan
kemudhorotan tersebut dapat hilang sama sekali.
Syarat maslahat mursalah yaitu :
- Hanya berlaku dalam bidang muamalah jadi tidak berlaku dibidang aqidah dan ibadah.
- Tidak bertentangn dengan maksud hukum islam atau salah satu dalilnya yang sudah dikenal ( dalam hal ini Al-Quran dan hadist nabi)
- Ditetapkan karena kepentingan yang jelas dan sangat diperlukanmasyarakat yang luas.
Menurut A. Hanafi di dalam pengantar dan sejarah hukum
islam ditegaskan bahwa:
“maslahat mursalah ialah pembinaan (penetapan hukum berdasarkan maslahat
(kebikan,kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara’ baik ketentuan
secara umum atau secara khusus.”
Oleh karena itu maka maslahat tersebut di namai “ mursal”
artinya terlepas dengan tidak terbatas. Akan tetapi jika sesuatu maslahat telah
ada ketentuan dari syara’ yang menujuk kepadanya secara khusus, seperti
penulisan Qur’an karena dikhawatirkan akan tersia-sia atau seperti membrantas
buta huruf (mengajarkan menulis dan membaca), atau ada nash umum yang
menunjukkan macamnya maslahat yang harus dipertimbangkan, seperti
wajibnyamencari dan menyiarkan ilmu pengetahuan pada umumnya, atau seperti amar
ma’ruf dan nahi mungkar, maka maslahat-masahat trsebut tidak lagi disebut
maslahat mursalah, dan penetapan hulkumannya didasarkan atas nash bukan
didasrkan atas aturan maslaht mursalah.
Ø Al-‘Urf
“urf diakui keberadaannya di dalamenentukan hukum,
terutama dalam menghadpi lafal-lafal yang bersifat umum. Untuk maksud tersebut,
mujtahid harus berusaha mendapatkannya. Billa tidak mungkin mendapatkannya
daklam al-quran dan sunnah dapat di tempat cara lain diluar dua dalil
tersebut,diantara ‘urf atau adat. Kebanyakan ulama menggunakan dalil ‘urf atau
adat sebagai dalil takhsin. Karena fungsi dari takhsis itu adalah menjelaskan,
maka ini berarti bahwa nash (teks) yang umum dalam al-quran atau sunnah dapat dijelaskan atau dipahami
menurut pemahaman ‘urf atau adat. Sehingga tidak perlu heran jika banyak
ayat-ayat yang maksudnya umum berlaku universal di pahami.
Sedangkan madzhab hanafi meletakkan ‘urf sebagai salah
satu hukum madzhabnya. Yang disimpulkan oleh abdullah siddik yang menegaskan bahwa:
- Qur’an
- Sunnah rasul atau hadist. Hadist yang diterima adalah hadit mutawir dan hadist masyhur. Hadist ahad(sanad tunggal) di tolak,mereka lebih abik mendahulukan qiyas daripada menggunakan hadist ahad.
- Fatwa-fatwa para sahabat didahulukan dari qiyas
- Qiyas
- Istihsan (menjalankan keputusan pribadi, yang tidak didasarkan pada qiyas, tetapi didasarkan kepada kepentingan umum atau kepentingan keadilan. Contoh maslah musyatarakah dalm hukum waris (fara’id) tidak memberikan pusaka kepada para saudara lelaki sekandung dengan jalan berserikat dengan para saudara lelaki seibu adalh atas dasar qiyas. Sedangkan memberi pusaka kepada para saudara lelaki dengan jalan menerima faraidh sudara-saudara lelaki seibu yang sepertiga itu apabila dhu-faraid menghabisi harta peninggalan, hingga tak ada yang tinggal untuk saudara lelaki saudara sekandung sebagainashabah adalah atas dasr istihsan.
- Adat yang telah berlaku di dalam masyarakat, apabila tidak bertentangan dengan Quran dan sunnah rasulnya.
Ø
Al-istihab
Istilah istihab memiliki arti tersendiri, sedangkan dalam
ilmu ushul sendiri, menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi
sebelumnya sampai ada dalil yang merubahnya. Pada dasarnya istihab adalah
menjadikan hukum tentang sesuatu hal yang telah ada sejak semula tetap berlaku
sampai adanya peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah hukum itu.
Istihab merupakan salah satu cara dari istidlal,istihab
dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu:
- Istihab kepada hukum akal dalam predikat”boleh” istihab ini berdasarkan atas prinsip bahwa asal sesuatu itu boleh. Karena itu kalau tidak ada dalil pelarangan atau suruhan, maka sesuatu itu di hukumi boleh atau mubah.
- Istihab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada sesuatu dalil yang merubahnya.
B. Al-ahkam al-khamsah
Istilah
Ahkam berasal dari bahasa Arab yang merupakan jamak dari kata hukum
Khamsah artinya lima.
Adapun arti ‘’al-hukmu’’ adalah menetapkan suatu hal atau perkara terhadap
suatu hal atau perkara. Ahkamul khamsah artinya ketentuan
atau lima
ketentuan. Pada dasarnya ‘’ahkamul khamsah erat kaitannya dengan perbuatan
manusia. Oleh karena itu, gabungan kedua kata dimaksud (Al-ahkam Al-khamsah)
atau biasa juga disebut hukum taklifi. Hukum taklifi adalah ketentuan hukum yang
menuntut para mukallaf atau orang yang dipandang oleh hukum cakap melakukan
perbuatan hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban, maupun dalam bentuk larangan.
Hukum taklifi di maksud, mencakup lima
macam kaidah atau lima
kategori penilaian mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam hukum islam
yaitu jaiz, sunnah, makruh, wajib, dan haram. Lain halnya hukum wadh’I yaitu
hukum yang mengandung sebab, syarat, halangan yang akan terjadi atau terwujud
sesuatu ketentuan hukum. Al-ahkam al-khamsahakan dijelaskan sebagai berikut:
1. Jaiz
atau mubah
Jaiz atau mubah adalah
sesuatu perbuatan yang dibolehkan untuk memilih oleh Allah SWT atau Rasul-Nya
kepada manusia mukallaf (aqil-baligh) untuk mengerjakan atau meninggalkan
(sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan kalau ditinggalkan tidak
dapat pahala dan tidak berdosa ). Hal ini dalam pembahasan asas hukum Islam
(ushul fiqh) disebut hukum takhyiri. Ketentuan mubah biasanya dinyatakan dalam
tiga bentuk, yaitu meniadakan dosa bagi sesuatu perbuatan, pengungkapan halal
bagi suatu perbuatan dan tidak ada pernyataan bagi sesuatu perbuatan.
Contohnya:melakukan
gerak badan di pagi hari, seorang laki-laki boleh menikahi dua orang,tiga dan
empat orang perempuan sebagai istrinya selama ia mampu berbuat adil.
2. Sunnah
(mandub)
Sunnah (mandub) adalah
sesuatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah SWT atau Rasul-Nya kepada manusia
mukallaf (aqil-baligh). Namun bentuk anjuran itu diimbangi dengan pahala kepada
orang mukallaf yang mengerjakannya dan tidak mendapat dosa bagi yang
meninggalkannya.
Sunnah (mandub) ini
terbagi menjadi tiga yaitu: sunnah muakkad, sunnah zaidah, dan sunnah fadhilah.
Ketiga bentuk sunnah dimaksud akan diuraikan sebagai berikut
·
Sunnah muakkad yaitu suatu ketentuan
hukum islam yang tidak mengikat tetapi penting.
Karena Rasulullah saw. senantiasa
melakukannya, dan hampir tidak pernah meninggalkannya atau dengan ketentuan
kalau perintah sunnah itu dikerjakan, ia dapat pahala sebaliknya kalau tidak dikerjakan tidak
berdosa.
Contohnya: azan sebelum
salat, member sedekah, salat jamaah untuk salat fardhu, dan dua salat hari raya
yakni idhul fitri dan idhul Adha.
·
Sunnah zaidah yaitu ketentuan hukum
islam yang tidak mengikat dan tidak sepenting sunnah muakkad. Sebab, Nabi
Muhammad biasa melakukannya dan sering juga meninggalkannya.
Contohnya: puasa senin
dan kamis, bersedekah kepada fakir miskin.
·
Sunnah fadhilah yaitu ketentuan hukum
yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad dari segi kebiasaan-kebiasaan budayanya.
Contohnya:
tata cara makan, minum, dan tidur dan sebagainya.
3. Makruh
Makruh (tercela) adalah
sesuatu perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT atau Rasul-Nya kepada manusia
mukallaf (aqil-baliqh). Namun bentuk larangan itu tidak sampai kepada yang
haram.
Contohnya: masuk rumah
orang dengan tidak mengucapkan salam, ketika melaksanakan ibadah puasa di bulan
ramadhan memperlambat berbuka puasa.
4. Haram
Haram adalah larangan
keras dengan pengertian kalau dikerjakan akan berdosa atau dikenakan hukuman
dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala
Contohnya: berzina,
minum yang memabukkan, mencari, menipu dan sebagainya.
5. Wajib
Wajib menurut hukum
islam adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada manusia mukallaf
(aqil-baligh) untuk mengerjakannya, mesti dikerjakannya ia mendapat pahala,
sebaliknya bila ditinggalkan ia berdosa atau dikenakan hukuman.
Contohnya: melaksanakan
salat 5 waktu yang telah diperintahkan oleh Allah, puasa di bulan ramadhan dll.
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Sumber
Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan
pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi
Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih
sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan
Hadist. Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan
dengan sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun,
maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.
Ahkamul khamsah artinya ketentuan atau lima ketentuan. Pada dasarnya
‘’ahkamul khamsah erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Oleh karena itu,
gabungan kedua kata dimaksud (Al-ahkam Al-khamsah) atau biasa juga disebut
hukum taklifi. Hukum taklifi adalah ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf
atau orang yang dipandang oleh hukum cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam
bentuk hak, kewajiban, maupun dalam bentuk larangan. Hukum taklifi di maksud,
mencakup lima macam kaidah atau lima kategori penilaian mengenai benda dan
tingkah laku manusia dalam hukum islam yaitu jaiz, sunnah, makruh, wajib,
dan haram.
DAFTAR
PUSTAKA
♣ Ali Zainuddin, 2006,
Hukum Islam. Jakarta
: Sinar Grafika
♣ Sudarsono,
Hanafie, 1962, USUL FIQH, Jakarta: Widjaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar